Kisah RAHMANULLAH: Amerika Serikat menjadikan seorang remaja Afghanistan berusia 15 tahun sebagai pembunuh bayaran

✍🏻SHAUN KING (Aktivis Muslim AS)

Minggu lalu, hanya dua blok dari Gedung Putih, anggota Garda Nasional berusia 20 tahun, Sarah Beckstrom, ditembak dan tewas. Seorang anggota Garda Nasional lainnya terluka parah. Peristiwa ini tidak terjadi di sudut Amerika yang terabaikan. Peristiwa ini terjadi di salah satu zona keamanan yang paling ketat diawasi, dijaga ketat oleh polisi, dan didanai dengan sangat besar di muka Bumi.

Sarah adalah bagian dari sesuatu yang disebut “DC Safe and Beautiful Task Force” (“Satuan Tugas DC Aman dan Indah”). Itulah nama resminya. Misinya, seperti yang diiklankan, adalah untuk memerangi kejahatan dan “mempercantik” kota. Militer bahkan membuat video promosi yang memukau tentang tentara berseragam yang memunguti sampah di sekitar Washington, D.C. Itulah yang dilakukan Sarah di ibu kota negara — berperan sebagai semacam properti panggung berseragam dalam teater politik “keamanan” — ketika ia ditembak.

[VIDEO]

Pelaku

Terduga pelaku penembakan adalah Rahmanullah Lakanwal, pria Afghanistan berusia 29 tahun yang telah mendapatkan suaka di Amerika Serikat setelah bertugas di unit paramiliter yang didukung CIA di Afghanistan.

Jika kita tetap berpegang pada poin-poin pembicaraan/berita resmi, ceritanya berhenti di situ: seorang asing yang berbahaya, seorang pengungsi yang tidak tahu berterima kasih, bukti bahwa kita terlalu murah hati dan terlalu lunak.

Namun, jika kita menarik kamera ke belakang dan benar-benar melihat siapa pria ini, apa yang kita lakukan padanya, dan bagaimana kita meninggalkannya, gambaran yang berbeda akan terlihat jelas. Pria ini pada dasarnya adalah Jason Bourne (mantan agen rahasia CIA yang berbalik melawan CIA).

Penembakan ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Itu adalah garis lurus (yang diciptakan AS). Inilah kisahnya…..

Mengubah Seorang Remaja Desa Menjadi Aset Perang

Laporan dari New York Times menelusuri kehidupan Rahmanullah dari sebuah desa kecil penghasil gandum di dekat Khost hingga unit paramiliter yang dikelola CIA di Kandahar dan, akhirnya, ke sebuah apartemen di Bellingham, Washington.

Ia masih kecil ketika AS menginvasi Afghanistan (2001) setelah pristiwa 9/11. Di pertengahan usia belasan—sumber mengatakan usianya baru 15 tahun—ia tergabung dalam Unit 03, salah satu dari apa yang disebut “Unit Nol” yang didanai, dilatih, dan diarahkan oleh CIA. Mereka bukan tentara Afghanistan biasa. Mereka adalah regu pembunuh informal yang bertugas mendobrak pintu di tengah malam, memburu tersangka Taliban, dan melakukan pekerjaan kotor yang AS tidak ingin tunjukkan. Human Rights Watch menuduh Unit Nol melakukan pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan serangan terhadap klinik medis.

Dengan kata lain, Amerika Serikat mengambil seorang anak desa dan mengubahnya menjadi apa yang dibutuhkannya: seorang pembunuh bayaran yang diarahkan kepada musuh-musuhnya, beroperasi di zona abu-abu di mana hukum perang lebih merupakan anjuran daripada keharusan.

Teman-teman dari desanya memberi tahu Times bahwa ketika ia pulang saat libur, ia menjadi orang yang berbeda. Remaja yang supel dan suka piknik dan bersosialisasi menjadi pendiam dan tegang. Ia tidak mau keluar rumah. Dia tidak ingin membicarakan pekerjaannya. Dia meminta orang-orang untuk tidak bertanya. Dia dilaporkan memberi tahu orang lain bahwa mayat dan darah yang dilihatnya telah mengguncangnya.

Jika seorang remaja Amerika kembali dari beberapa tugas di unit operasi khusus dengan berbicara seperti itu, setidaknya kita akan menggunakan istilah “PTSD”, “cedera moral”, “trauma tempur”. Apakah kita akan memberinya perawatan yang sesungguhnya adalah soal lain — tetapi kita akan mengerti bahwa sesuatu yang mendalam telah terjadi pada pikirannya.

Dengan remaja Afghanistan ini, kami mengambil biometriknya, mencatat misinya, dan terus mengirimnya kembali.

Dari Bandara Kabul ke Ruang Gelap di Negara Bagian Washington

Ketika Kabul runtuh pada tahun 2021 (oleh serangan Taliban), Unit-Unit Zero ini masih dikerahkan dengan keras. Para komandan Amerika meminta mereka untuk membantu mengamankan perimeter bandara selama evakuasi yang panik. Sebagai imbalannya, para pejabat AS berjanji untuk mengeluarkan mereka dari Afghanistan — sebuah “kewajiban moral,” mereka menyebutnya, untuk melindungi orang-orang yang telah membunuh dan mempertaruhkan nyawa demi kita.

Maka Rahmanullah dan keluarganya diterbangkan keluar sebagai bagian dari Operasi Allies Welcome. Seperti sekitar 190.000 warga Afghanistan lainnya, mereka tiba di Amerika Serikat dengan pembebasan bersyarat sementara dan diminta untuk mengajukan status permanen.

Setelah perjalanan singkat seperti biasa di pangkalan militer dan pusat pemrosesan, mereka mendarat di Bellingham, Washington, sebuah kota liberal berpenduduk sekitar 97.000 jiwa di dekat perbatasan Kanada. Sebuah kelompok pemukiman kembali Kristen, World Relief, menangani kasus mereka. Para relawan membantu dengan perumahan, dokumen, pendaftaran sekolah, dan lamaran kerja.

Awalnya, mereka membangun apa yang tampak seperti awal dari kehidupan baru. Mereka mendekorasi rumah mereka dengan karpet dan bantal lantai Afghanistan. Istrinya menjahit bantal dengan mesin jahit sumbangan. Mereka minum teh di atas karpet bersama warga Afghanistan lainnya dan pengunjung Amerika. Ia membawa kelima putranya ke masjid setempat. Sesaat, kewajiban moral resmi itu tampak berarti.

Lalu, perang batinnya pun berkobar.

Pada awal tahun 2023, seorang relawan yang bekerja erat dengan keluarga tersebut menyaksikan keruntuhan keluarganya. Ia (Rahmanullah) berhenti bekerja. Ia mengurung diri di kamar tidur yang gelap dan sering menolak keluar. Ia berhenti menghadiri kelas bahasa Inggris. Ia menghindari pengunjung. Ia berhenti membayar sewa, sehingga keluarganya berisiko diusir. Ketika istrinya meninggalkan rumah, ia terkadang bahkan tidak memakaikan pakaian atau memandikan anak-anak laki-lakinya.

Ia juga mulai masuk ke mobilnya dan mengemudi selama berhari-hari, sendirian, tanpa penjelasan — ke Chicago, Phoenix, Indianapolis — mengunggah foto-foto dari jalan saat kehidupan keluarganya hancur berantakan.

Pada Januari 2024, relawan ini menuangkan ketakutannya ke dalam tulisan. Dalam email yang kemudian diperoleh wartawan, ia menulis: “Rahmanullah tidak berfungsi sebagai pribadi, ayah, dan pencari nafkah sejak Maret tahun lalu.” Ia mengatakan ia yakin Rahmanullah menderita stres pascatrauma akibat pekerjaannya dengan pasukan AS dan bahwa ia mungkin juga mengalami manik depresif. Ia menggambarkan perjalanan lintas negara terbarunya sebagai “perjalanan manik.”

Ia mencoba membunyikan alarm. Email itu dikirim ke seorang teman yang terlibat dalam pekerjaan pengungsi, yang meneruskannya ke sebuah organisasi nasional. Seorang petugas program akhirnya mengunjungi Bellingham untuk bertemu dengan keluarga-keluarga Afghanistan secara umum, tetapi mengatakan ia tidak ingat pernah mendengar tentang kasus spesifik ini dan tidak pernah bertemu dengannya.

Sementara itu, sistem imigrasi terus melakukan apa yang biasa dilakukannya. Pembebasan bersyarat sementaranya diperbarui. Dia mengajukan permohonan suaka. Berkat penyelesaian hukum, kasusnya dipercepat. Pada bulan April tahun ini, suakanya dikabulkan. Pemerintahan Biden dan Trump secara efektif menyetujui kehadirannya di negara ini.

Di atas kertas, semuanya tampak baik-baik saja. Kenyataannya, Amerika Serikat telah mengambil seorang pria yang telah dijadikan senjata, memindahkannya ke sebuah kota kecil di Amerika dengan beberapa perabotan sumbangan dan relawan yang berniat baik, tanpa memberinya perawatan kesehatan mental yang serius, dan diam-diam pergi begitu saja.

Siapa pun yang memperhatikan apa yang terjadi pada banyak veteran AS akan mengenali pola itu.

Negara yang Menghancurkan Para Pembunuhnya dan Kemudian Bertindak Terkejut

Kita telah melihat ini sebelumnya dalam film-film.

Kita mengirim orang-orang yang sangat muda—sering kali dari keluarga miskin dan kota-kota miskin—ke dalam perang yang dibangun di atas kebohongan. Kita melatih mereka untuk membunuh. Kita mengekspos mereka pada kengerian. Kita sering melibatkan mereka dalam hal-hal yang menggerogoti hati nurani mereka lama setelah tembakan terakhir dilepaskan. Lalu kita bawa mereka pulang, kembalikan mereka ke kehidupan sehari-hari dengan pamflet dan nomor telepon, lalu beri tahu mereka untuk bersyukur.

Ketika mereka mulai berantakan, kita melihat kekerasan dalam rumah tangga, perkelahian di bar, kecanduan diam-diam, upaya bunuh diri, kilas balik, tunawisma. Terkadang kita melihat yang lebih buruk: penembakan massal, penghancuran keluarga, serangan di tempat kerja. Anda tidak perlu menggali jauh ke dalam sejarah penembakan massal di Amerika untuk menemukan jejak yang familiar: veteran, trauma yang tak tertangani, tanda bahaya, tanpa intervensi nyata, lalu pembantaian.

Kita melakukan ini pada anak-anak kita sendiri yang berseragam. Jadi tentu saja kita melakukannya pada remaja Afghanistan dan mereka yang berusia dua puluhan tahun yang kita jadikan instrumen kebijakan kita.

Itulah yang membuat kasus ini terasa begitu mudah ditebak. Ini bukan kekacauan acak. Ini adalah produk logis dari sebuah sistem yang brilian dalam menciptakan cara untuk membunuh dan sangat buruk dalam merawat manusia yang diubahnya menjadi pembunuh.

Sumber: https://www.thenorthstar.com/p/the-united-states-turned-a-15-year

Komentar