Kilau Arab Saudi dan Sunyi Kemandirian Iran

Kilau Arab Saudi dan Sunyi Kemandirian Iran

Oleh: Ismail Amin

Bagi banyak peziarah, mungkin banyak yang terpukau dengan wajah baru Arab Saudi yang makin berkilau. Proyek raksasa seperti NEOM, The Line, bandara super-modern, kota pintar, kecerdasan buatan, hingga industri militer digadang sebagai bukti “kebangkitan peradaban” yang dibungkus oleh Vision 2030. Tapi yang mengerti dunia tekhnologi, tidak ada kesan yang mengagumkan.

Sebab pertanyaan mendasarnya adalah: apakah kemajuan ini lahir dari kemandirian ilmu, atau dari ‘ketergantungan’ yang dikemas mewah?

Fakta teknokratis menunjukkan bahwa hampir seluruh desain, konsep, dan sistem inti proyek Saudi justru dirancang dan diawasi oleh perusahaan Barat. Nama-nama seperti McKinsey & Company dan Boston Consulting Group menjadi arsitek kebijakan. Proyek konstruksi ditangani Bechtel, teknologi listrik dan industri oleh Siemens, sistem digital oleh Google dan Oracle, sementara persenjataan bergantung pada Lockheed Martin.

Artinya apa? desain buatan Barat, teknologi buatan Barat dan manajemen sistem buatan Barat. Bagian Arab Saudi adalah menghadirkan tiga hal utama: dana, lahan, dan tenaga kerja pelaksana.

Saudi memang memiliki insinyur dan teknisi lokal, termasuk lulusan universitas luar negeri. Itu harus diakui. Namun secara struktural mereka masih berada di posisi: operator sistem, supervisor lapangan, dan manajer teknis menengah.

Mereka belum mendominasi riset dasar, belum memimpin desain teknologi inti, dan belum menguasai industri presisi tinggi secara mandiri. Inilah ciri klasik negara konsumen teknologi: tampak canggih di permukaan, namun aslinya ya tetap juga tidak ada apa-apanya. Keunggulannya hanya diuang yang melimpah.

Sektor militer memperlihatkan ketergantungan yang lebih telanjang. Radar, jet tempur, misil, satelit, drone, dan sistem pengawasan hampir seluruhnya berasal dari Amerika Serikat dan Eropa, termasuk pasokan tidak langsung dari Israel. Arab Saudi membeli, mengoperasikan, dan merakit terbatas bukan membuat, berkreasi apalagi menemukan. Dalam logika pertahanan modern, ini berarti satu hal: kedaulatan semu.

Model pembangunan Saudi sesungguhnya adalah model akselerasi instan: bukan membangun peradaban ilmu dari bawah, melainkan membeli teknologi jadi dari luar. Hasilnya memang mengkilap: gedung futuristik, infrastruktur mewah, dan kota digital. Tapi harganya mahal: ketergantungan struktural yang dalam. Kedaulatan negara harus dipertaruhkan untuk membayar itu semua.

Perbandingan dengan Iran

Di titik inilah perbandingan dengan Iran menjadi relevan. Sejak Revolusi Islam Iran 1979, Iran hidup di bawah sanksi, embargo, dan isolasi teknologi. Tidak ada karpet merah konsultan Barat, tidak ada transfer teknologi murah. Pilihannya hanya dua: mandiri atau runtuh.

Iran memilih mandiri. Drone, misil, reaktor nuklir, satelit, sistem perang elektronik, hingga teknologi medis lahir dari universitas lokal, laboratorium nasional, dan industri dalam negeri. Iran tidak membeli peradaban; Iran memproduksinya. Kemandirian itu mahal, lambat, penuh tekanan, tetapi membangun tulang punggung bangsa. Iran jadi punya harga diri dan bargaining politik yang kuat dengan semua kemandirian itu.

Maka kontrasnya menjadi gamblang. Arab Saudi tampil sebagai negara modern secara visual, tetapi masih konsumen teknologi dalam struktur. Iran mungkin tidak semewah Saudi, tetapi memiliki sesuatu yang jauh lebih menentukan masa depan: kedaulatan ilmu dan teknologi strategis.

Maka pelajaran yang bisa kita ambil, bangsa yang menyewa kecerdasan akan selalu bergantung, sedangkan bangsa yang melahirkan kecerdasan akan menentukan arah zaman.

Modernitas Saudi mungkin banyak mencatat rekor dunia, tapi yang menggetarkan bagi kekuatan hegemoni adalah mereka yang mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaganya.”

(*)

Komentar