Ketika Privasi Ustadz Dijadikan Konsumsi Medsos
Di zaman ketika jari lebih cepat bergerak daripada kemampuan akal untuk berpikir,
dan komentar lebih mudah keluar daripada melakukan muhasabah, muncul satu penyakit besar di tengah umat: privasi ustadz dijadikan konsumsi media sosial.
Banyak orang tidak beradab dalam berbicara. Mereka menghujat demi memuaskan hawa nafsunya.
Banyak orang menggiring kesimpulan secara zalim dan melampaui batas, seolah-olah mereka saksi hidup yang tahu detail kejadian.
Banyak orang menjadikan olok-olok sebagai hiburan, seakan-akan aib manusia adalah bahan tawa.
Dan lebih menyedihkan lagi, sebagian dari mereka adalah orang yang duduk di majelis ilmu, atau mengaku sebagai penuntut ilmu.
Ketika Kehidupan Pribadi Jadi Bahan Viral
Lihatlah fenomena hari ini:
■ Seorang ustadz bercerai atau diceraikan,
langsung menjadi topik panas dengan seribu analisis liar.
■ Seorang ustadz menikahi mualaf,
langsung dihakimi seolah ia merusak wibawa agama.
■ Seorang ustadz menikahi selebgram,
langsung dicemooh: “Masih banyak akhwat! Kenapa pilih yang begitu?”
■ Istri seorang ustadz tidak bercadar,
langsung muncul komentar: “Pantas saja, rumah tangganya begitu… Ustadz kurang berhasil.”
■ Seorang ustadz poligami,
langsung muncul tuduhan: “Hah, ustadz menikah karena nafsu. Kalau mau jalankan sunnah, banyak sunnah lain. Kenapa sunnah ini yang dipilih?”
Seakan-akan mereka adalah hakim,
padahal mereka tidak memahami banyak hal dan sisi dari realita kehidupan yang mereka komentari.
Logika yang Sakit dan Adab yang Rusak
Jika seseorang berakal jernih,
ia akan memahami satu kebenaran tegas:
“Kehidupan pribadi seorang ustadz tidak membatalkan ilmunya; tidak membatalkan otoritasnya; dan tidak membatalkan kebenaran yang ia ajarkan.”
Sebagian nabi pun diuji oleh keluarganya.
Apakah itu mencabut kenabian mereka?
Tidak.
Maka mengapa penuntut ilmu hari ini menyimpulkan secara zalim bahwa:
■ Ustadz yang bercerai itu gagal,
■ Ustadz yang menikahi mualaf itu tidak bijak,
■ Ustadz yang menikahi selebgram itu memalukan,
■ Ustadz yang poligami itu hanya mengikuti syahwat,
■ Ustadz yang istrinya tidak bercadar itu ilmunya tidak efektif.
Dengan logika sakit seperti ini, apa pun yang dilakukan ustadz akan selalu dianggap salah.
Lalu apa gunanya ilmu jika akhlak tidak ikut naik? Apa artinya duduk di majelis jika lisan lebih liar daripada orang awam?
Privasi Itu Hak, Bukan Konten
Rumah tangga ustadz adalah: ruang takdir, ruang ujian, ruang air mata, ruang perjuangan, ruang yang hanya Allah yang melihatnya dengan sempurna.
Lalu mengapa manusia merasa berhak menguliti ruang itu?
Mengapa manusia merasa perlu membuka pintu yang Allah tutup rapat?
Orang yang gemar membicarakan privasi ustadz sebenarnya sedang melakukan dua dosa sekaligus:
- Menggunjing, menuduh, dan mencela.
- Menghancurkan keberkahan ilmu dalam dirinya.
Karena ilmu adalah cahaya, dan cahaya tidak tinggal di hati yang dipenuhi aib orang lain.
Berhentilah Menjadi Penonton Kehidupan Orang Lain
Media sosial membuat orang merasa berhak menjadi:
- Analis rumah tangga,
- Hakim pernikahan,
- Komentator hubungan suami-istri,
- Penentu siapa pantas dan tidak pantas menikah.
- Penentu ustadz shalih dan ustadz nyeleneh.
Padahal, kita tidak tahu apa-apa selain kabar burung. Dan buruknya, banyak yang tidak sadar bahwa kebiasaan ini bukan hanya dosa, tetapi tanda penyakit hati: ada hawa nafsu mencari sensasi, ada iri yang tersembunyi, ada ketidakmampuan melihat kebaikan, dan ada kesenangan membuka aib.
Semua itu racun yang merusak hati tanpa disadari. Bahkan bom waktu perusak akhirat.
Ambil Ilmunya, Jaga Kehormatannya
Ustadz adalah manusia yang diberi amanah ilmu, bukan malaikat yang dijamin bebas dari ujian hidup.
Jika perkataannya benar, ambil.
Jika salah, luruskan.
Jika keluarganya diuji, doakan.
Jika sesuatu tidak sesuai ekspektasi, diamkan.
Karena siapa yang benar-benar ingin mendapatkan cahaya ilmu, harus menjaga lisannya dari kehormatan para pembawa ilmu.
Dan siapa yang menjadikan privasi ustadz sebagai konsumsi media sosial,
maka ia telah menanam benih kehinaan untuk dirinya sendiri.
(Hafidin Achmad Luthfie)







Komentar