Kenapa sebagian orang ngganggap bahwa banyak negara Arab berada di ketiak Yahudi dan Amerika?

✍🏻Arsyad Syahrial

Membaca opini Mr Ustad yang menganggap negara kaya pasti “menyewa” sedangkan negara miskin pasti “meminta bantuan” (alias: “budak”) justru menunjukkan ketidakpahamannya terhadap realitas hubungan antarnegara yang sangat kompleks.

🔴 Pertama, kekayaan suatu negara tidak otomatis membuat mereka bebas dari pengaruh kekuatan besar.

Di dalam Geopolitik, yang paling utama menentukan itu bukanlah “cadangan devisa nasional”, akan tetapi “keamanan strategis”.

Negara-negara Arab kaya itu bergantung pada USA karena dua hal:
(1) Security umbrella (payung keamanan) berupa pangkalan militer USA yang memberi Washington keuntungan politik, dan
(2) Ketergantungan penuh pada teknologi pertahanan Barat yang bahkan belanja ratusan milyar USD sekalipun tidak membuat mereka merdeka dari syarat QME.

QME (qualitative military edge) adalah doktrin resmi USA (diundangkan 2008) yang mewajibkan negara Israel selalu memiliki keunggulan militer kualitatif. Hasilnya jelas: negara Arab hanya boleh membeli versi downgrade dari alutsista yang sama dimiliki oleh Israel. Ini jelas bukan relasi “kaya menyewa – miskin meminta”, akan tetapi mekanisme hegemoni yang sengaja dipertahankan USA di kawasan TimTeng.

🔴 Kedua, argumen “mereka kan kaya” tidak menghapus fakta bahwa kekuatan militer dan kedaulatan strategis itu tidaklah lahir dari kekayaan semata.

Jepang dan Jerman — dua raksasa ekonomi dunia — tetap berada dalam batasan ketat keamanan pasca-Perang Dunia II dan bergantung pada payung keamanan USA/NATO. Sebaliknya, Korea Utara yang ‘miskin’ mampu memaksa dunia untuk tunduk karena punya deterensi nuklir mandiri.

Jadi menyederhanakan hubungan internasional menjadi “yang kaya raja, yang miskin budak” itu bukan hanya dangkal, tapi sangat menyesatkan.

🔴 Ketiga, framming “datang meminta bantuan vs datang menyewa” juga salah total.

Negara-negara Arab yang kaya itu tidak sedang menyewa USA, akan tetapi justru USA lah yang menyewa legitimasi politik mereka untuk mempertahankan akses minyak, jalur pelayaran, dan proyek pengamanan terhadap Iran.

Pangkalan USA bukanlah “toko jasa keamanan” tempat menyewa bodyguard atau centeng, akan tetapi ia adalah instrumen untuk memastikan kebijakan luar negeri negara-negara Arab tetap selaras dengan kepentingan Washington.

Karena itu, persepsi bahwa sebagian negara Arab “di bawah ketiak” bukan lahir dari rasa iri, akan tetapi dari rangkaian fakta objektif: Ketergantungan militer, kontrol teknologi, doktrin QME, serta struktur Geopolitik yang tidak seimbang.

Hubungan antarnegara adalah interdependensi, bukan dongeng “majikan–budak” berbasis kekayaan semata. Opini Mr Ustad justru gagal menangkap hal paling mendasar tersebut.

(*)

Komentar