“Kembalikan BCA ke negara”

CATATAN AGUSTINUS EDY KRISTIANTO:

Sejumlah pihak yang sebelumnya gencar meneriakkan wacana “kembalikan BCA ke negara” tiba-tiba lenyap ditelan bumi. Suaranya menghilang di media. Berita-berita tentang BCA pun berganti rupa, lebih banyak berupa advertorial dan sejenisnya.

Wacana pun berbalik arah seiring membludaknya komentar para narasumber. Intinya: kasus BLBI tidak bisa lagi diutak-atik, Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor BLBI jangan dipermasalahkan, dan pembelian 51% saham BCA senilai Rp5,59 triliun oleh Farindo Investments (Mauritius) Ltd (konsorsium Farallon dan Djarum Group) pada tahun 2002 dianggap sah serta sesuai dengan kondisi pasar saat itu. Mereka berargumen, kalau semua itu dibuka kembali, berarti tidak ada kepastian hukum di Indonesia—dan itu berbahaya bagi bisnis serta investasi.

Seperti saya bilang pada status sebelumnya, saya memahami kondisi itu. Tetapi tetap saja, keadilan untuk rakyat tidak otomatis terwujud, betapapun gemuruhnya pembalikan narasi tersebut.

Awalnya, perusahaan milik Salim Group dkk berutang Rp52 triliun di BCA (yang mayoritas juga dimiliki Salim dkk). Utang itu kemudian macet. Pemerintah melalui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) mengambil alih piutang (hak tagih) tersebut dan menerbitkan obligasi rekapitalisasi Rp60,8 triliun yang kemudian masuk sebagai aset BCA.

Salim dkk menyerahkan aset berupa saham 108 perusahaan kepada BPPN. Konsorsium Danareksa dkk menilai aset itu Rp51,9 triliun. Namun auditor independen Price Waterhouse Coopers (PwC) dan lembaga auditor negara menilai nilainya jauh lebih rendah, hanya Rp20 triliun. Menariknya, Dirut Danareksa yang saat itu menilai aset Salim, kini menjabat sebagai pengurus perusahaan Salim Group.

Pada 2008, Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana terkait rekayasa penyerahan aset Salim dkk ke BPPN.

Kemudian, pada 2009, menurut laporan BCA, pemerintah telah menyelesaikan pembayaran obligasi rekap senilai Rp60,8 triliun. Berdasarkan perhitungan pribadi saya dari laporan keuangan (audited) BCA 2000–2009, pemerintah juga membayar bunga obligasi rekap sebesar Rp43,04 triliun (rata-rata 7% per tahun). Jika ditotal, pokok dan bunga mencapai Rp103,84 triliun.

Pada 2019, muncul putusan kasasi dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung (Ketua BPPN 2002–2004). Dalam pertimbangannya, hakim menyebut bahwa pemberian BLBI adalah kebijakan darurat nasional dan berdasar pada sejumlah aturan perundang-undangan yang sah. Putusan ini bisa menjadi yurisprudensi.

Jika jalan hukum sudah “final” dan buntu, adakah jalan lain?

Saat ini, muncul berita bahwa pemerintah melalui Danantara berencana menerbitkan Patriot Bond senilai Rp50 triliun dengan kupon 2% dan tenor 5–7 tahun. Angka ini jauh lebih rendah dari bunga deposito (4%–5%) maupun obligasi pemerintah pada umumnya (sekitar 6%). Sasaran utamanya: pengusaha atau taipan nasional.

Selain sebagai instrumen keuangan, saya menilai Patriot Bond ini juga merupakan instrumen politik pemerintahan Prabowo Subianto untuk—mungkin—mewujudkan keadilan sosial dengan “menagih balik” kekayaan atau keuntungan konglomerat di masa lalu, lalu digunakan bagi kepentingan negara sekarang.

Jika demikian, mengapa tidak sekalian kita hitung dan tagih balik secara khusus pihak Salim dkk dan Djarum Group, yang secara nyata mereguk untung besar dari proses rekapitalisasi BCA hingga kini?

Faktanya, Anthony Salim masih menjadi pemilik BCA dengan porsi kepemilikan sekitar Rp7 triliun, dan diduga tetap mengendalikan sejumlah perusahaan yang sahamnya dulu diserahkan ke BPPN. Sementara itu, Djarum Group—secara spesifik Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono—kini menguasai lebih dari 50% BCA, dengan nilai kepemilikan mencapai lebih dari Rp500 triliun.

Mungkin perlu diterbitkan obligasi khusus BLBI, semacam Obligasi Rakyat (People’s Bond), yang secara mandatory harus diserap oleh mereka yang menikmati obligasi rekap itu: Salim & Djarum. Suka atau tidak suka, kebangkitan BCA berawal dari dana negara. Suka atau tidak suka, kejayaan imperium Salim Group dibantu negara melalui penghapusan kredit macetnya.

Skema mandatory bond purchase bukan barang baru. Jerman, Jepang, Filipina, India, Argentina, dan Venezuela pernah menerapkannya, baik saat membiayai perang maupun untuk pembangunan nasional.

Nilai pokok Obligasi Rakyat ini dalam bayangan saya setara dengan total beban rekap yang telah dibayarkan negara (duit rakyat), setelah disesuaikan dengan inflasi rata-rata 5%. Menurut perhitungan saya, nilainya sekitar Rp322 triliun. Instrumennya berbentuk zero coupon bond (tanpa bunga) dengan tenor panjang 30 tahun.

Tujuan Obligasi Rakyat jelas: mengembalikan beban keadilan kepada para penikmat rekap. Artinya, pihak yang dulu diuntungkan wajib membeli obligasi ini tanpa menerima bunga tahunan. Negara hanya melunasi pokok pada saat jatuh tempo. Dengan begitu, APBN bebas dari beban bunga, dan rakyat memperoleh kembali nilai riil dari apa yang telah mereka bayarkan.

Bagi rakyat, People’s Bond adalah simbol koreksi sejarah: dulu rakyat dipaksa membayar bunga tinggi untuk menyelamatkan segelintir konglomerat, sekarang giliran konglomerat meminjamkan dana ke negara tanpa imbal hasil. Pesan moralnya: keuntungan masa lalu harus dikembalikan kepada rakyat demi masa depan bangsa.

Uang dari Obligasi Rakyat ini bisa diarahkan untuk mendanai program andalan presiden, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG). Program MBG untuk anak-anak jelas baik. Tetapi sebaik-baiknya MBG adalah yang tidak dibiayai dengan memotong anggaran pendidikan dalam APBN. Sebab, itu berarti memotong kesejahteraan guru/dosen, memangkas beasiswa bagi rakyat miskin, serta menghambat pembangunan dan perbaikan gedung sekolah.

Salam,
AEK

Komentar