Nikmat Rasa Aman, Nikmat Paling Besar?
✍🏻Ustadz Muhammad Abduh Negara
Entah sunnah dan ajaran siapa yang diikuti oleh oknum “pengikut Sunnah” ini.
Nikmat paling besar adalah nikmat iman dan Islam, serta taufik dari Allah ta’ala untuk senantiasa istiqamah dalam ketaatan hingga akhir hayat. Demi mempertahankan nikmat ini, “keamanan”-pun layak dikorbankan, dalam rangka jihad fi sabilillah, membela diin Islam dan kemuliaan umat Islam.
Komentar seorang oknum “pengikut Sunnah”, bahwa, “Nikmat paling besar adalah nikmat rasa aman”, seandainya pun ia berdiri sendiri tanpa konteks tertentu, dilihat secara mutlak (tanpa qayd tertentu), ia tetap salah.
Pernyataan “paling besar” itu bentuk superlatif, yang berarti “terbesar dan tidak ada yang lebih besar darinya”, padahal menurut banyak sekali ulama, nikmat terbesar yang diberikan Allah ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah nikmat iman dan Islam, serta taufik untuk senantiasa dalam ketaatan kepada-Nya hingga akhir hayat.
Seandainya dikatakan “Rasa aman adalah salah satu nikmat yang sangat besar”, maka itu bisa diterima. Tentu dengan catatan, sebagaimana saya sebutkan, “Demi mempertahankan nikmat ini (nikmat iman dan Islam), ‘keamanan’ pun layak dikorbankan, dalam rangka jihad fi sabilillah, membela diin Islam dan kemuliaan umat Islam.”
Lebih parah lagi, pernyataan oknum tersebut ditujukan sebagai pembenaran kerjasama strategis Saudi dengan AS. Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik membahas kebijakan politik Saudi, toh saya tidak tinggal di sana. Hanya saja, saya agak risih saja, jika tiap kebijakan Saudi harus ‘didalili’ (dipaksakan dikasih dalil -red) seakan-akan kebijakan mereka tidak boleh dianggap salah, dan tidak boleh dianggap menyelisihi syariat.
Kalau kita mau elaborasi lebih jauh, nikmat “rasa aman” ini sering dijadikan dalih (justifikasi) untuk:
(1) Membenarkan kebijakan suatu negara (terserah negara mana saja, tidak menunjuk satu negara saja), yang zhahirnya menyelisihi syariat, termasuk misalnya kerjasama dengan Barat untuk memerangi sesama umat Islam, atau keengganan membantu saudara muslim kita di Palestina sana secara militer.
(2) Menolak setiap upaya kritik terhadap kebijakan penguasa yang keliru bahkan batil, karena kritik itu dianggap akan menghilangkan ‘rasa aman’ rakyat, tanpa pertimbangan yang jelas terhadap kadar kritik dan kadar rasa aman yang dimaksud, juga tidak mempertimbangkan sisi maslahat dan mafsadat secara objektif dan sesuai standar syariat.
Rasa aman memang nikmat dan karunia Allah ta’ala yang sangat besar. Tidak ada orang berakal yang menolaknya. Karena itu, saya berulangkali menyatakan, upaya ishlah dan dakwah kita di negeri ini, harus memperhatikan sisi maslahat dan mafsadat, tidak boleh grasah-grusuh, tergesa-gesa, yang hanya akan menyebabkan dakwah Islam di negeri ini malah mundur jauh ke belakang.
Hanya saja, jika penyikapan terhadap “rasa aman” ini terlalu berlebihan, ghuluw, ditambah lagi dengan cara pandang yang sejak awal keliru tentang hubungan umat/rakyat dengan penguasa, maka itu hanya akan melestarikan kezaliman, menjadi jubir dan buzzer gratisan untuk penguasa, serta menghilangkan kewajiban dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar.
(*)







Komentar