Kasus Ijazah Palsu Makin Seru, Ahmad Ali Seret Presiden Prabowo Mengakhiri
Oleh: Erizal
Entah seperti apa reaksi Presiden Prabowo, minimal ring satu Istana, kalau sempat menonton pidato perdana Ahmad Ali, yang secara mengejutkan ditunjuk sebagai Ketua Harian PSI, yang meminta Presiden Prabowo menggunakan kewenangannya untuk mengakhiri kasus dugaan ijazah palsu, baik terhadap Jokowi maupun Gibran?
Heran, terkejut, senang, marah, gembira, atau malah biasa-biasa saja.
Ahmad Ali dalam kasus duo ijazah ini, tentu saja memposisikan Jokowi dan Gibran sebagai pihak yang dizalimi, dan pihak yang menggugat ijazah itu, sebut saja Roy Suryo Cs, pihak yang menzalimi, bahkan dicap pembuat kegaduhan di Republik ini.
Entah apa yang dimaksud Ahmad Ali, Ketua Harian PSI yang baru itu, menggunakan kewenangan Presiden Prabowo untuk mengakhiri kasus dugaan ijazah palsu, baik terhadap Jokowi maupun Gibran? Apakah Presiden Prabowo diminta mengintervensi penegak hukum, dalam hal ini polisi dan jaksa, untuk melakukan seperti yang pernah dialami oleh Gus Nur dan Bambang Tri di era Presiden Jokowi dulu?
Ataukah Presiden diminta melobi para penggugat untuk segera menghentikan, mempersoalkan ijazah palsu ini? Agak merendahkan Presiden, sebetulnya. Tapi Ahmad Ali sadar betul bahwa tak ada yang tak bisa dilakukan Presiden kalau mau, merujuk pengalaman Jokowi selama dua periode.
Sejak awal sikap Presiden Prabowo soal dugaan ijazah palsu, terutama berkaitan dengan Jokowi, jelas sekali. Bahwa dia tak setuju kalau ijazah itu dipersoalkan, tapi kalau ada yang mempersoalkan dia juga tak bisa mengintervensi. Apalagi sejak awal, Jokowi-lah yang menempuh jalur hukum melaporkan Roy Suryo Cs.
“Nanti ijazah saya pula yang dipersoalkan,” seloroh Prabowo saat itu.
Lagian kalau Jokowi ataupun Gibran benar-benar ingin menyelesaikan kasus ijazah palsu ini sangat mudah dengan cara membuka saja ijazah itu secara terang benderang.
Kalau asli, apa yang ditakutkan? Tapi, itulah yang tak mau dilakukan sejak awal, dengan alasannya sendiri.
Kalau Jokowi dan Gibran sendiri tak mau menyelesaikan kasus ijazahnya dengan mudah, bagaimana pula Ahmad Ali, sebagai Ketua Harian PSI yang baru ditunjuk, meminta Presiden Prabowo untuk menyelesaikan kasus ijazah palsu dengan menggunakan kewenangannya?
Justru kewenangan penuh ada di tangan Jokowi dan Gibran, bukan di tangan Prabowo. Agak maju atau kelewatan juga mantan pendukung Anies ini terhadap Prabowo yang serta merta menyeret dalam kasus ijazah palsu itu. Apakah karena Ahmad Ali mantan pendukung Anies, sehingga ia membenarkan bahwa kasus ijazah ini hanya akal-akalan dari lawan politik?
Boleh dibilang, Ahmad Ali tidak saja masuk ke dalam isu yang paling panas, paling tinggi ratting, sekaligus paling kabur dan jadi bahan olok-olokan sebagian orang, tapi juga paling sensitif karena menyangkut jabatan paling tinggi di Republik ini. Yakni, mantan Presiden dan Wakil Presiden saat ini.
Celakanya, Ahmad Ali secara sengaja menyeret Presiden Prabowo untuk segera menyelesaikan kasus ini dengan menggunakan kewenangannya. Tentu tidak ada deal sebelumnya, bahwa Prabowo akan menyelesaikan kasus ijazah palsu Jokowi dan Gibran ini. Kalau ijazah Jokowi memang sudah lama digugat, tapi ijazah Gibran baru kali ini saja digugat.
Bukan dibuat-buat, bapak dan anak, punya sisi gelap pendidikan yang layak untuk digugat. Meski sudah dinyatakan asli oleh UGM dan Bareskrim, tapi orang tetap tak percaya. Meski sudah dicabut, tapi pernyataan mantan Rektor UGM Sofian Effendi bahwa Jokowi tidak pernah tamat S1, besar sekali bobotnya.
Apalagi Jokowi memang tak berani membuka ijazahnya di hadapan publik, kecuali di depan Pengadilan, katanya. Banyak sekali forum Pengadilan yang bisa membuka ijazah Jokowi itu, tapi tak pernah diambil Jokowi. Harapannya adalah Pengadilan di mana Roy Suryo Cs sebagai terdakwa, tapi kasusnya tak kunjung masuk ke Pengadilan.
Sisi gelap jejak pendidikan Gibran jauh lebih menarik ketimbang Jokowi. Sebab, hampir dipastikan Gibran tak memiliki ijazah SMA. Ijazah SMA Gibran hanya disamakan lewat sepucuk surat dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, tahun 2019.
Roy Suryo Cs sudah memastikan bahwa surat itu tanpa mengikutsertakan ijazah dari Insearch University of Technology Sydney, Australia, yang disetarakan dengan SMA-nya Gibran.
Pengakuan Gibran sendiri seperti dikatakan Ikhsan Katonde, warga Indonesia yang sudah menetap di Australia, bahwa ia tak tamat saat mengikuti pendidikan di Insearch UTS itu. Lagian itu cuma kursus biasa saja.
Jejak pendidikan Gibran di Australia itu agaknya sudah terbongkar dan tak bisa lagi dipertahankan. Padahal, banyak orang yang dulu menduga bahwa itu S2 Gibran. Jangankan S2 ternyata itu disamakan dengan SMA dan itupun agaknya zonk pula.
Makanya Roy Suryo Cs dan seperti juga gugatan Subhan Palal berkesimpulan bahwa Gibran tak memiliki ijazah SMA. Yang difokuskan sekarang hanyalah ijazah Sarjana yang di MDIS Management Development Institute of Singapore. Dan baru-baru ini muncul berita dari yang katanya MDIS, yang intinya bahwa Gibran diakui sebagai alumni mereka. Berita itupun digugat Roy Suryo sebagai berita yang tak berdasar.
Kalau ijazah Sarjana Gibran di MDIS itu benar, tanpa ijazah SMA, apakah hal itu bisa dibenarkan secara aturan di Pilpres kemarin? Kalau dibenarkan, buat apa kemarin minta surat keterangan penyetaraan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, bahwa yang di Insearch UTS Australia itu disetarakan dengan SMA?
Kalau memang percaya diri sejak awal, kenapa tak hanya ijazah Sarjana yang di MDIS Singapura itu saja yang dimasukkan sebagai syarat pendaftaran di KPU? KPU sampai membuat keputusan gila yang dia batalkan sendiri dan mengubah pendidikan terakhir Gibran dari kosong alias Pendidikan Terakhir menjadi Sarjana S1.
Keadaan kacau balau terkait ijazah Jokowi dan Gibran yang terbuka saat inilah yang diminta oleh Ahmad Ali, Ketua Harian PSI yang baru, untuk diselesaikan berdasarkan kewenangan yang dimiliki Presiden Prabowo. Sungguh menjebak dan sama sekali tidak pantas. (*)







Komentar