Pembahasan revisi UU Tipikor kembali menghangat setelah Transparency International Indonesia (TII) menilai pasal mengenai kerugian negara dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah saatnya dirombak. Sekretaris Jenderal TII, Danang Widoyoko menegaskan Pasal 2 dan 3 terlalu luas cakupannya, dapat menjerat siapa pun, dan kerap menjadi alat sapu jagat dalam proses hukum.
Menurut Danang, politik hukum bergerak ke arah yang berbeda. Jika dahulu demokrasi menjadi pijakan, kini ia melihat ruang tersebut mulai menyempit. Dalam situasi seperti itu, pasal antikorupsi yang terlalu elastis sangat efektif untuk membungkam kritik. Hal ini ia ungkap dalam diskusi Prime Plus CNN Indonesia TV, Senin (24/11), bertema Keputusan Korporasi Berujung Vonis Bui.
Ia mencontohkan kasus Tom Lembong dan persoalan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP. Menurutnya, pasal kerugian negara berpotensi digunakan berulang kali dalam pola politik hukum yang mengarah pada pembungkaman, bukan sekadar pemberantasan korupsi. Bukan mustahil beberapa kasus yang mencuat saat ini merupakan efek dari kebijakan ekonomi dan bisnis yang keliru di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang belakangan banyak dinilai meninggalkan warisan masalah dalam sektor BUMN maupun keputusan strategis negara.
Sering kali, keputusan investasi dan ekspansi bisnis BUMN pada periode tersebut diambil dengan tempo cepat tanpa mitigasi risiko memadai. Akibatnya, ketika kondisi berubah dan audit dilakukan, pejabat pelaksana di lapangan yang dikenai jeratan hukum—meski banyak keputusan strategis lahir dari pertimbangan politik dan instruksi struktural era kepemimpinan sebelumnya.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Aristo Pangaribuan menambahkan bahwa batas antara Business Judgement Rule (BJR) dan tindak pidana korupsi sangat tipis. Pasal kerugian negara tak menuntut adanya suap untuk menjerat seseorang. Inilah yang menurutnya menjadikan pasal itu seperti pukat harimau: bukan hanya menangkap pelaku korupsi, tetapi juga pejabat yang mengambil kebijakan bisnis namun gagal dihitung risikonya.
Aristo menyebut KUHP baru yang akan berlaku dua bulan lagi mencoba mempersempit ruang penafsiran tersebut. Ke depan, pemidanaan tak bisa dilakukan tanpa menilai mens rea atau sikap batin pengambil keputusan.
Kasus ASDP menjadi salah satu contoh nyata. Putusan pengadilan sempat terbelah dan belakangan Presiden Prabowo memberi rehabilitasi terhadap tiga direksi yang dihukum, sekaligus meminta DPR meninjau ulang penyelidikan. Hal ini menjadi momentum mengevaluasi ulang sistem hukum yang sebelumnya lahir dari kebijakan yang terburu-buru.
Revisi pasal Tipikor mungkin bukan sekadar kebutuhan hukum, melainkan upaya mencegah kesalahan masa lalu terus mengorbankan pejabat yang bekerja di bawah sistem yang belum tuntas dibenahi.







Komentar