Kalo sekarang ribut-ribut “Negara dalam Negara” ya udah gak heran sih

Postingan Arham Rasyid, warga Kendari yang istrinya dari Morowali.

“Udah sering saya bahas.
Kalo mudik ke kampung istri di Morowali, saya pasti nulis soal ini.
Jadi kalo sekarang ribut-ribut isu “negara dalam negara” ya udah gak heran sih.”

***

Ini tulisan Arham Rasyid pada saat mudik Lebaran 2023 ke Morowali:

Terkejut di perjalanan mudik lebaran kali ini.
Selama ini saya taunya di kabupaten Morowali cuma ada satu perusahaan tambang besar, IMIP, yang sudah mengubah daerah kecamatan Bahodopi menjadi kawasan industri. Sudah sering saya bahas di postingan, sampe berjilid-jilid.

Sekadar merefresh ingatan, PT. IMIP atau Indonesia Morowali Industrial Park adalah pengelola kawasan industri berbasis nikel yang terintegrasi. Bisa dibilang pemegang hak kawasan industri lah di Bahodopi. Mereka yang memfasilitasi investor Cina yang mau inves di sini.

Kenapa IMIP ini bisa berkembang begitu pesat? Salah satunya karena efesiensi distribusi bahan baku. Sebelum ekspansi ke Bahodopi, mereka sudah menguasai teknologi pengolahan terlengkap. Sudah punya beberapa unit produksi nikel dengan kapasitas jutaan ton. Jadi, bahan baku produk sudah dibuat duluan oleh pabrik atau perusahaan yang sudah ada sebelumnya.

Bingung yak?
Jadi begini, sederhananya, IMIP ini gak berproduksi lagi di Bahodopi, hanya menyewakan lahan kepada investor Cina. Begitu yang saya dengar dari sumber terpercaya.

Kalo kalian pertama kali maen ke Bahodopi, jangan heran dengan pemandangan alat-alat pabrik kawasan industrinya. Kecamatan kecil ini berasa bukan di Indonesia. Kita kayak time traveler yang nyasar di masa depan.
Sulur-sulur pabriknya seperti tentakel-tentakel gurita raksasa futuristik yang mencengkram tanah Morowali. Jalanan umum didominasi orang-orang berhelem kuning.

Mereka punya pulau pribadi yang keliatan dari jalan dengan fasilitas hotel bintang lima dan helipad. Hanya bisa diakses oleh investor dan petinggi perusahaan saja.
Bayangkan, hotel bintang lima di kecamatan, cuy. Padahal di ibukota provinsi saja gak ada.

Capek juga saya kritisi, terkait dampak lingkungan dan dominasi asing serta kesenjangan dengan pekerja lokal yang menyertai.
Menyelisihi korporasi-korporasi besar seperti ini ibarat menggantang asap. Kita bisa apa? Saya cuma butiran taingongo satu miligram rasanya.
Lagian, pemerintah daerah dan masyarakat juga sudah merasa dibuat sejahtera. Banyak orang kaya baru. Sudah gak begitu peduli dengan habisnya gunung yang digunduli dan sebagainya. Yo wes lah.. Nikmati saja apa yang ada saat ini.

Sorry.. Kepanjangan intronya.
Nah, yang bikin saya terkejut di paragraf awal tadi, ternyata ada lagi perusahaan tambang baru di daerah Labota, sekitar setengah jam perjalanan sebelum Bahodopi.
Sungguh mengherankan, padahal perasaan belum setahun lalu mudik dan melintasi daerah sini, perusahaan ini belum ada. Cepat banget berdirinya. Udah kayak dikerjakan Bandung bondowoso aja. Tonggak-tonggak raksasa semisal penopang jalur monorail sudah berdiri di mana-mana. Kepulan asap hitam dari tabung dan cerobong-cerobong besar membumbung di udara.

Pandangan awam saya, Labota ini akan jadi Bahodopi ke dua. Konon awalnya tambang ini ditolak di Bahodopi, tapi entah kenapa kemudian bisa masuk di Labota. Di sini, selain nikel dan baja, juga memproduksi manganese atau serbuk batre.
Baru berdiri, hak istimewa sudah mulai keliatan. Sebuah sekolah umum sampe direlokasi demi pembangunan pabrik.

Nah, sore ini saya kembali dibuat terkejut season dua, saat maen ke Morowali Utara. Dua jam dari tempat kami. Di sepanjang daerah Topogaro kecamatan Bungku Barat, menuju Tompira di Morowali Utara, ternyata ada pendirian perusahaan tambang lagi. Baoshuo apa gitu namanya, punya Cina juga.
Dampak tambang di sini lebih mencolok dari Bahodopi maupun Labota. Belum dua tahun tapi pegunungan hijau sudah botak tengah kayak dicukur barbershop. Rerimbunan sawit dibabat sedikit demi sedikit. Puluhan excavator berjejer sepanjang jalan, seolah prajurit yang menunggu ultimatum buat menghabisi gunung-gunung.

Dari penduduk sekitar, saya dapat kabar, profesi nelayan sudah hampir punah di sini. Padahal sebelumnya Topogaro ini terkenal dengan budidaya ikan teri keringnya.
Perahu-perahu bagang nelayan sudah gak ada lagi, pesisir pantai tempat sandarnya sudah diambil alih pembangunan dermaga pengapalan. Sepertinya akan dibangun smelter juga.
Duh, semoga saja ada efek positif buat penduduk sekitar, walaupun kita tau negatifnya jauh lebih besar. Banjir belum lama ini melanda beberapa titik di Topogaro. Apa itu bukan peringatan?

Sungguh, mineral nikel ini begitu menggiurkan. Perut bumi dikeruk, orang-orang sangat kemaruk.

(fb)

Komentar