Seorang pria berinisial M (47) ditangkap polisi di Kota Medan karena terlibat dalam praktik penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dengan harga tidak wajar. Pertalite dijual Rp 12.000 dari harga normal Rp 10.000.
Penangkapan ini dilakukan pada Sabtu (6/12/2025) sekitar pukul 18.00 WIB di SPBU yang terletak di Jalan Mabar, Sei Kera Hilir II.
Kasat Reskrim Polrestabes Medan, AKBP Bayu Putro Wijayanto menjelaskan, M ditangkap setelah berkoordinasi dengan operator SPBU berinisial AH (18).
M datang menggunakan mobil yang telah dimodifikasi untuk mengisi BBM. Mobil tersebut dilengkapi dengan alat pompa yang menghubungkan tangki bensin ke empat jeriken yang diletakkan di bangku penumpang.
“Setelah kita cek, ada 140 liter Pertalite yang diisi ke jeriken,” ungkap Bayu saat diwawancarai di Polrestabes Medan, Senin (8/12/2025).
Setelah mengisi, M membawa Pertalite tersebut ke kediamannya di Pasar III Krakatau dan memasukkannya ke dalam Pertamini miliknya untuk dijual seharga Rp 12 ribu per liter.
“Jadi dia mendapatkan keuntungan Rp 2.000. Sedangkan operator itu dibayar Rp 5.000 sampai Rp 10.000 sekali isi,” tambahnya.
Untuk melancarkan aksinya, AH menyimpan persediaan 10 barcode untuk mengisi Pertalite dalam satu alat. Barcode tersebut diperoleh dengan memfoto barcode pengendara yang mengisi BBM secara normal.
“Operator ini mengaku sudah beraksi selama empat bulan. Sedangkan pembeli (M) sudah lebih dari setahun beraksi,” jelas Bayu.
Praktik serupa juga terungkap di SPBU Jalan Medan-Batang Kuis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
Di lokasi tersebut, seorang pengendara becak motor berinisial AY (43) bekerja sama dengan operator SPBU berinisial MHN (56) untuk melakukan tindakan yang sama pada Jumat (5/12/2025) sekitar pukul 18.45 WIB.
“Ada sekitar 4 jeriken di dalam becak itu. Setiap jeriken, operator mendapatkan untung Rp 10.000 sampai Rp 15.000,” ungkap Bayu.
Saat ini, keempat pelaku telah ditahan di Polrestabes Medan untuk proses lebih lanjut.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 55 UU No 22 tahun 2001, dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
(Sumber: KOMPAS)







Komentar