Jokowi’s White Paper
Oleh: Erizal
Roy Suryo Cs memenuhi janjinya meluncurkan buku pada Hari Kemerdekaan yang ke-80. Bukunya berjudul “Jokowi’s White Paper”. Buku putih tentang Jokowi yang isinya hitam. Hitam karena buku putih itu mengatakan ijazah Jokowi yang dikeluarkan oleh UGM adalah palsu.
Sementara UGM sendiri secara resmi mengakui ijazah Jokowi asli. Tapi Roy Suryo Cs, yang terdiri dari Dokter Tifa, Rismon, dan Roy Suryo sendiri, yang juga tamatan UGM, ngotot mengatakan ijazah Jokowi palsu. Untuk membuktikan itulah buku “Jokowi’s White Paper” dibuat.
Buku “Jokowi’s White Paper” adalah pukulan bagi Jokowi dan pendukungnya. Sebagai sebuah pukulan, buku ini tak mudah untuk dibalas. Buku dibalas dengan buku tak semudah itu.
Buku balasan biasanya harus lebih bagus daripada buku yang dibalas. Kalau sama saja, atau malah lebih buruk, itu sungguh memalukan. Jadi kalau tak bisa membalas buku dengan buku, baiknya dilihat saja, kalau tak akan dibaca.
Buku “Jokowi’s White Paper” yang dibuat Roy Suryo Cs, pastilah menarik karena gugatan atas kemapanan. Dari latar belakangnya, isi, dan kesimpulannya, tidaklah mengada-ada, apalagi kosong. Setidaknya ini terlihat dari penjelasan awal Roy Suryo Cs.
Saya sendiri belum membaca buku “Jokowi’s White Paper” karangan RRT itu. Yakni, Roy, Rismon, dan Tifa. Tapi dari penjelasan awal, buku setebal 700 halaman itu, merupakan kompilasi, rangkuman, atau bunga rampai dari tulisan ketiganya tentang ijazah Jokowi yang diduganya palsu, yang terpisah-pisah, dijadikan satu.
Maka secara umum, buku itu bisa dibayangkan, karena pasti sudah pernah diungkapkan secara terpisah-pisah dan dalam waktu yang berbeda-beda. Keistimewaannya bisa disimpulkan dengan mudah bahwa buku itu akan lebih lengkap dan utuh secara ide.
Menurut Roy Suryo, bukunya ini justru berasal dari pernyataan Jokowi itu sendiri yang mengatakan pada sebuah seminar di Jogja tahun 2013, bahwa ia adalah seorang pemimpin yang IPK-nya di bawah 2.
Entah iya entah tidak, entah serius entah bercanda, itulah yang memantik orang, menurut Roy Suryo, menelusuri soal ijazah Jokowi.
Cerita tentang Bambang Try dan Gus Nur pasti juga menjadi episode tersendiri, termasuk pernyataan soal Pak Kasmudjo dosen pembimbing skripsi atau pembimbing akademik, yang tak kunjung berkejelasan sampai sekarang.
Ada pepatah dalam bahasa Minangkabau mengatakan kato dahulu kato sabana, kato kudian kato bacari. Jadi, kalau Jokowi dahulu mengatakan bahwa IPK di bawah 2, maka itulah yang sebenarnya.
Sedangkan saat ini, terutama saat temu alumni angkatan 80 Mahasiswa Kehutanan UGM belum lama ini, Jokowi mengatakan bahwa IPK-nya di atas 3, maka ini adalah kata yang bercari-cari.
Tapi anehnya, untuk Pak Kasmudjo. Dulu dikatakan Jokowi bahwa Pak Kasmudjo adalah dosen pembimbing skripsi, lalu pembimbing akademik, terbaru tinggal pembimbing saja lagi. Antara kata dahulu dan kata kemudiannya, menjadi campur-aduk.
Meskipun kuasa hukum Jokowi mengatakan bahwa pembuatan buku “Jokowi’s White Paper” hanyalah alibi bagi pihak Roy Suryo Cs untuk terhindar dari jeratan hukum yang sedang berproses di Polda Metro Jaya, tapi setidaknya buku ini dapat menaikkan sedikit level intelektual dari perdebatan soal dugaan ijazah palsu Jokowi ini.
Dengan adanya buku itu perdebatan soal dugaan ijazah palsu Jokowi tidak lagi seputar pembenci dan pencinta, atau seputar kebebasan berekspresi versus pelanggaran pada pasal-pasal pencemaran nama baik, fitnah, ujaran kebencian, dan lain-lain.
Memang harus diakui, tak ada yang selevel Roy Suryo Cs di kubu Jokowi. Rata-rata pembela Jokowi berasal dari yang berlatar belakang hukum. Baik dari relawan maupun tentu saja kuasa hukum Jokowi itu sendiri. Tak ada ilmunya yang spesifik seperti Rismon, Roy Suryo, dan Dokter Tifa.
Ada ahli digital forensik Josua Sinambela yang dipakai kuasa hukum Jokowi, tapi ia terlihat tak akan tertarik untuk membuat buku tandingan Roy Suryo Cs itu. Diundang media pun dia jarang sekali. Maka tak aneh pihak Jokowi hanya berharap Roy Suryo Cs cepat-cepat diperiksa dan dijadikan tersangka seperti Bambang Try dan Gus Nur.
Buku adalah buku, hukum adalah hukum, bahkan politik adalah politik. Ketiganya terpisah, tapi terkadang saling berhimpitan juga. Buku yang dibuat bermuatan politik ada dan buku yg tersangkut masalah hukum juga ada. Tapi buku akan jauh lebih abadi karena pewarisannya melewati ruang dan waktu.
Bisa jadi nasib Roy Suryo Cs akan sama dengan Bambang Try dan Gus Nur. Sebab, apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran baru sebatas ilmu pengetahuan, belum merambah pada institusi formal, apalagi institusi kekuasaan. Belum ada yang serius untuk mengungkapkan kebenaran sebagaimana suatu kebenaran itu diyakini sebagai kebenaran.(*)






Komentar