Bagi mereka yang terbiasa menilai politik hanya dari potongan foto dan headline, pertemuan hari ini di Moscow pasti membingungkan.
- Sebelumnya, Ahmad al-Sharaa (Al Jaulani) dituduh sebagai “antek Amerika” dan “proxy Zionis” — hanya karena ia tampil di hadapan Donald Trump untuk membahas pencabutan sanksi dan membuka jalur diplomatik baru. Tuduhan itu datang dari berbagai arah: kubu pro-Iran, simpatisan Syiah, bahkan sebagian kalangan umat Islam sendiri. Mereka menyimpulkan dengan sederhana: siapa yang bertemu Amerika, pasti hamba Amerika.
- Namun hari ini, al-Sharaa berdiri di Moscow, bersalaman dengan Presiden Rusia Vladimir Putin — sosok pemimpin dari negara besar anggota tetap Dewan Keamanan PBB, pemegang hak veto yang selama ini menjadi pemain utama dalam konflik Suriah. Apakah setelah ini ia akan kembali dituduh sebagai antek Rusia?
Inilah penyakit mereka yang tidak memahami hakikat diplomasi dan strategi politik. Bagi mereka, setiap pertemuan adalah tanda persekongkolan; setiap foto adalah bukti pengkhianatan. Padahal, dunia politik tidak sesederhana warna hitam dan putih.
Yang diperjuangkan al-Sharaa bukan soal kedekatan pribadi atau kepentingan kelompok. Ia sedang memikul nasib sebuah bangsa — nasib umat Islam di Suriah, yang kini tengah menata kembali negeri yang hancur akibat perang panjang, pecahnya wilayah, dan sistem yang rusak karena ulah rezim Assad.
Dan tuduhan “antek Zionis” pun terus dilemparkan karena al-Sharaa memilih tidak membalas serangan Israel dengan emosi. Istana kepresidenannya pernah diserang, tapi ia tidak gegabah. Sebagian menyebutnya pengecut — padahal itulah perbedaan antara pemimpin yang berpikir dengan hati dan yang berpikir dengan kepala negara.
Al-Sharaa tahu bahwa jika Suriah terpancing untuk membuka front perang dengan Israel dalam kondisi yang rapuh saat ini, maka negeri itu akan kembali hancur, dan itulah yang diinginkan musuh, agar Suriah tak pernah pulih dan kuat.
Karena itu, ia menempuh jalur diplomasi, meminta dunia internasional untuk ikut menekan Israel dan memulai perundingan yang dimediasi oleh pihak-pihak berpengaruh, termasuk Amerika Serikat. Dari pertemuan itu lahir kesepakatan awal soal keamanan perbatasan yang berlandaskan perjanjian 1976. Namun lagi-lagi, sebagian orang gagal paham, mengira perjanjian itu adalah bentuk “normalisasi”.
Padahal, al-Sharaa tidak sedang menjual Suriah. Ia sedang berusaha menyelamatkan masa depan bangsa yang ia pimpin.
Bagi mereka yang memahami politik, apa yang dilakukan al sharaa adalah seni menjaga keseimbangan, bukan tunduk kepada kekuatan asing, apa yang dilakukan al-Sharaa justru adalah bentuk keteguhan seorang negarawan.
(Andalus)






Komentar