Izzuddin bin Abdissalam : Pajak Boleh Diambil Dari Rakyat Ketika Darurat dan Ketika Harta Pejabat Setara Dengan Rakyat
Ketika umat Islam kembali mempelajari agamanya, mencari solusi untuk mengatasi permasalahannya, dan bersungguh-sungguh untuk menerapkannya, maka ia akan menemukan betapa hebat agama ini. Islam tidak hanya berbicara tentang keselamatan di akhirat, tapi juga berbicara tentang kemaslahatan di dunia. Sistem dan petunjuk Islam jika diterapkan, kemaslahatannya bukan hanya untuk orang Islam saja, tapi untuk seluruh manusia, bahkan seluruh alam, dalam kehidupan dunia ini. Ia adalah sistem yang adil untuk semua. Konsep yang telah jelas dan mapan, bahkan telah terbukti sepanjang sejarah peradaban Islam. Hanya masalahnya, apakah orang mau menerapkannya? Apakah orang Islam sendiri yakin dengan ajarannya?
Di antara keadilan dan rahmat Islam adalah dalam soal harta. Islam memiliki sistem dan petunjuk yang sangat adil, bagaimana negara dikelola agar memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Diantaranya tidak boleh rakyat dibebani dengan pajak-pajak. Makanya secara asal dalam Islam, pungutan pajak itu haram hukumnya. Ia dibolehkan untuk dipungut hanya ketika darurat saja.
Di antara lembaran sejarah Islam dalam soal ini adalah ketika umat Islam akan menghadapi pasukan Tatar dalam perang Ain Jalut pada tahun 657 H. Saifuddin Quthuz (w. 658 H) rahimahullah, Sang Pemimpin dan penglima Islam yang kemudian harum namanya, seorang raja yang diberi kemenangan (al-malik al-muzhaffar) ketika akan menyiapkan pasukan ia meminta pendapat kepada para ulama tentang hukum melakukan pungutan pajak kepada rakyat untuk membiayai perang. Maka tampillah imam Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H) rahimahullah, yang terkenal dengan sebutan Sulthan Al-‘Ulama, memberikan fatwanya yang tegas dan berani, bahwa boleh mengambil pajak dari rakyat ketika tidak lagi tersisa harta di Baitul Mal (kas negara) dan dijual terlebih dahulu harta-harta yang ada pada para pejabat dan tentara, sampai setara harta mereka dengan harta rakyat, ketika itu maka bolehlah diambil pajak dari semua secara adil!
Kisah ini tersimpan rapih dalam lembaran sejarah Islam, sebagaimana dituturkan oleh para ahlinya, di antaranya imam Syamsuddin Adz-Dzahabi (w. 748 H) rahimahullah menuturkan :
[رأي العزّ بن عَبْد السلام فِي جهاد التتار]
وفي آخرها قبض الأمير سيف الدّين قُطُز المعزيّ على ابن أستاذه الملك المنصور عليّ بن المُعِزّ، وتسلطن ولُقب بالملك المظفّر. وسبب ذلك قدوم الصّاحب كمال الدّين ابن العديم رسولا يطلب النّجدة على التّتار، فجمع قُطز الأمراء والأعيان، فحضر الشَّيْخ عزّ الدّين ابن عَبْد السّلام والقاضي بدر الدّين السّنجاريّ، وجلس الملك المنصور فِي دَسْت السّلطنة، فاعتمدوا على ما يقوله الشَّيْخ عزّ الدّين، فكان خُلاصته: إذا طرق العدوّ البلادَ وَجَبَ على العالم كلّهم قتالُهُم، وجاز أن يؤخذ من الرّعيّة ما يُستعان به على جهادهم، بشرط أن لا يبقى فِي بيت المال شيء، وأن تبيعوا ما لكم من الحوائص والآلات، ويقتصر كلّ منكم على فَرَسه وسلاحه، ويتساووا فِي ذلك هُمْ والعامّة. وأمّا أخْذ أموال العامة مع بقاء ما فِي أيدي الْجُنْد من الأموال والآلات الفاخرة فلا
(Pendapat al-‘Izz bin ‘Abd al-Salam dalam Jihad Melawan Tatar)
Di akhir peristiwa tersebut, Panglima Saifuddin Quthuz al-Mu‘izzi menangkap putra gurunya, Sultan al-Mansur Ali bin al-Mu‘izz, lalu mengambil alih kekuasaan dan diberi gelar al-Malik al-Muzaffar (raja yang berjaya). Sebab pengambilalihan itu adalah kedatangan al-Shahib Kamaluddin Ibn al-‘Adim sebagai utusan yang meminta bantuan untuk menghadapi serangan bangsa Tatar.
Quthuz pun mengumpulkan para amir dan tokoh penting. Hadir dalam pertemuan itu Syaikh al-‘Izz bin ‘Abd al-Salam dan Qadhi Badruddin al-Sinjari. Sultan al-Mansur duduk di singgasana kekuasaan, maka mereka berpegang kepada pendapat Syaikh al-‘Izz bin ‘Abd al-Salam, yang ringkasannya adalah sebagai berikut :
“Jika musuh menyerang negeri, maka wajib bagi seluruh umat untuk memerangi mereka. Diperbolehkan mengambil harta dari rakyat untuk membantu jihad, dengan syarat tidak ada lagi harta yang tersisa di Baitul Mal, dan kalian harus menjual barang-barang mewah dan perlengkapan kalian, serta hanya menyisakan kuda dan senjata. Mereka harus setara dengan rakyat dalam hal ini. Namun, mengambil harta rakyat sementara para tentara masih memiliki kekayaan dan perlengkapan mewah, maka hal itu tidak diperbolehkan.”
(Adz-Dzahabi dalam Tarikh Al-Islam, 48/45, diceritakan pula oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, 13/215-216, As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa, hal. 334, Ibnu Iyas dalam Bada’i Az-Zuhur, 1/301-302).
Wallahul Muwaffiq.
(Muhammad Atim)







Komentar