IRONIS MIRIS…!! Dapur SD Muhammadiyah sudah berjalan baik 10 tahun dengan menu sehat, sekarang harus DITUTUP karena harus diganti MBG

Murid-murid SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Surakarta, Jawa Tengah, antre di lorong kelas untuk mengambil sop ayam kampung, nasi hangat, dan tempe goreng yang disediakan dapur sekolah. Mereka lalu duduk tertib di meja, berdoa, dan segera menghabiskan makan siang itu, sebelum mencuci dan menaruh kembali piring di rak, di sudut kelas.

”Saya paling suka sop ini. Enak. Nanti mau tambah lagi,” kata Raisa, siswa kelas 3 SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Rabu (24/9/2025). Dia memenuhi mangkuknya dengan sayur berisi ayam suwir, wortel, kol, serta taburan bawang goreng.

Di sekolah ini, anak-anak bebas mengambil menu sesuai porsi dengan sistem prasmanan yang baru saja dimasak di dapur sekolah. Mereka bisa menambah kembali nasi atau lauk asal bisa menghabiskannya. Dengan sistem prasmanan, nyaris tidak ada sisa pangan terbuang.

Namun, di balik semangat anak-anak itu, ada kecemasan yang menyelinap karena minggu ini memasuki hari-hari terakhir mereka bisa menikmati makan siang dari dapur dan kantin sehat sekolah.

Setelah 10 berjalan secara swadaya, dapur dan kantin sehat mandiri yang dibangun sekolah ini harus ditutup karena segera digantikan program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG).

”Pihak SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) sudah datang ke sekolah dan minta agar kami tak lagi menyediakan makan siang sendiri di sekolah karena akan digantikan pembagian MBG. Terus terang saya sedih, sekaligus cemas,” ujar Kepala SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Sri Sayekti.

Sri sudah menghubungi Dinas Pendidikan Surakarta agar MBG di sekolahnya ditunda dan berupaya agar dapur dan kantin sehat sekolah tetap beroperasi.

”Kemarin dapat WA (pesan pendek) dari Dinas Pendidikan, pelaksanaan MBG di sekolah kami kemungkinan ditunda, tapi belum tahu sampai kapan,” kata Sri saat dihubungi pada Jumat (26/9/2025).

Dapur dan kantin sehat itu berdiri sejak tahun 2015 sebagai swadaya. Sekolah tidak sendiri karena orangtua dan guru, dan warga sekitar, ikut dilibatkan. Selama sepuluh tahun berjalan menyediakan makan siang di sekolah, tidak ada catatan keracunan.

Sri berkaca-kaca saat mengisahkan perjuangan sekolahnya merintis dapur dan kantin.

”Awalnya kantin sekolah di kelola penjaga sekolah. Di sekitar sekolah juga banyak sekali penjual makanan dan jajanan yang sulit dijamin keamanan dan gizinya,” katanya.

Begitu diangkat sebagai kepala sekolah, Sri menginisiasi pembuatan dapur dan merombak kantin agar menyediakan menu sehat. Mereka menghabiskan biaya sekitar Rp 80 juta untuk merenovasi hingga peralatan dapur dan kantin agar memenuhi syarat kesehatan.

Semua menu makan siang yang disajikan juga diinformasikan lebih dulu kepada orangtua dan anak-anak, di antaranya untuk menjaga keamanan anak-anak yang memiliki alergi terhadap bahan makanan tertentu. Dengan niatan itu, orangtua pun rela membayar Rp 10.000 per porsi makan siang bersama itu.

”Di awal iurannya Rp 7.000 per porsi, baru sejak tahun ini jadi Rp 10.000 karena kenaikan bahan makanan,” kata Winarsih, Koordinator Kantin Sehat yang juga guru kelas 2 SD Muhammadiyah Ketelan.

Menurut Sri, dapur dan kantin sekolahnya juga telah menjalankan sistem kontrol pengelola kantin secara ketat mulai dari kesehatan dan kebersihan karyawan, pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan, pembersihan bahan pangan, pengemasan pangan, hingga penyimpanan pangan matang.

”Kami juga mendapat dukungan dari Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, dan memenangi lomba Kantin Sehat Tingkat Nasional dari Kementerian Kesehatan,” kata Sri.

Namun, semua pengakuan itu kini tak ada artinya. Dapur dan kantinnya hanya menanti waktu berhenti.

Program MBG nasional mengharuskan sekolah mengikuti skema distribusi terpusat dari vendor.

Ironisnya, MBG kerap jadi sorotan publik karena menimbulkan keracunan massal.

Hingga September 2025, lebih dari 5.000 anak di sejumlah daerah dilaporkan keracunan akibat program yang digadang-gadang sebagai solusi mengatasi masalah gizi dan kesehatan anak ini.

(sumber: KOMPAS)

Komentar