Nama Bahlil Lahadalia kembali jadi sorotan publik. Bukan karena pernyataan kontroversialnya di media, tapi karena hasil survei dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang memberi nilai minus 151 untuk kinerjanya sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Angka yang bikin kening berkerut — bagaimana bisa seorang menteri sampai dapat nilai “minus” sebesar itu?
Tapi mari kita lihat lebih jernih: angka itu bukan sekadar hasil survei abal-abal di media sosial. CELIOS menggunakan metode expert judgment, melibatkan 120 jurnalis dari 60 media nasional untuk menilai kinerja para menteri dalam satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran. Para jurnalis menilai berdasarkan indikator seperti transparansi, konsistensi kebijakan, dampak ekonomi, dan arah tata kelola sumber daya.
Jadi, nilai minus 151 itu muncul bukan karena suka atau tidak suka, tapi karena akumulasi penilaian negatif dari para pengamat yang sehari-hari mengikuti isu kebijakan.
Lalu, kenapa Bahlil bisa terjun sedalam itu?
Pertama, isu perpanjangan izin tambang Freeport jadi titik panas. Banyak kalangan menilai kebijakan itu dilakukan tanpa komunikasi publik yang memadai. Publik hanya mendengar keputusan sudah diambil, bukan alasan dan kajian yang melatarbelakanginya. Dalam konteks tata kelola, itu fatal. Transparansi bukan sekadar bicara di konferensi pers, tapi memastikan publik merasa dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut hajat sumber daya nasional.
Kedua, arah kebijakan energi baru terbarukan (EBT) yang belum jelas. Janji menuju transisi energi bersih masih kalah kuat dibanding dorongan ekspor batu bara dan nikel. Padahal dunia sudah bergeser ke energi hijau, sementara Indonesia masih tampak ragu-ragu menapaki jalan itu. CELIOS mencatat, di mata banyak jurnalis ekonomi, Bahlil dinilai “kurang konsisten” dalam mengarahkan kementeriannya ke arah yang lebih berkelanjutan.
Ketiga, isu tumpang tindih kebijakan dan koordinasi lintas sektor juga memperparah citra kinerja. Banyak kebijakan investasi dan energi yang dinilai tumpang tindih antara ESDM, Kementerian Investasi, hingga BKPM. Dalam era digital yang menuntut kecepatan dan kepastian, koordinasi yang lemah terasa seperti rem tangan yang lupa dilepas.
Jadi ketika hasil survei CELIOS keluar dan menempatkan Bahlil di posisi paling bawah dengan nilai –151, sesungguhnya itu adalah cermin dari persepsi publik yang menuntut perbaikan tata kelola energi nasional. Nilai minus itu bukan vonis akhir, tapi alarm keras agar kementerian ESDM kembali ke jalur transparansi, keberlanjutan, dan konsistensi arah kebijakan.
Mungkin Bahlil perlu melihat survei itu bukan sebagai serangan, tapi sebagai refleksi. Karena dalam dunia kebijakan publik, nilai minus sering kali lebih jujur daripada pujian. Ia menyakitkan, tapi justru bisa jadi titik balik.







Komentar