Inilah kekalahan nyata Donald Trump dan Amerika Serikat di hadapan Ahmad al-Sharaa.
Dunia menyaksikan bagaimana seorang yang dulu diburu, kini berdiri tegak di panggung internasional.
Trump dan Washington akhirnya harus mengakui: Musuh yang selama ini mereka jadikan buronan, ternyata mampu bertahan, bermanuver, dan mengembalikan Suriah ke panggung dunia.


Suriah yang dulu terkunci dalam isolasi, dibungkam dengan propaganda, kini hadir kembali sebagai bagian sah dari komunitas internasional.
Semua upaya untuk menghapus nama Suriah dari peta politik global berakhir gagal.
Dan inilah hakikat politik: jabat tangan bukan berarti sahabat dekat, dan senyum bukan berarti melupakan luka masa lalu.
Ahmad al-Sharaa memilih jalan ini bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi stabilitas negeri yang porak-poranda. Ia tahu jutaan rakyat Suriah masih terlunta di pengungsian, masih menunggu kepastian dan tempat pulang. Karena itu, ia melangkah ke ruang diplomasi dengan kepala tegak, bukan demi gengsi, tetapi demi rakyatnya.
Biarlah dunia luar menyebutnya dengan berbagai label—budak, antek Amerika, atau sindiran sinis lainnya. Semua itu tak menggoyahkan langkahnya. Al-Sharaa tetap fokus bekerja. Al-Sharaa tetap fokus bergerak. Baginya, yang terpenting bukanlah komentar orang luar, melainkan masa depan bangsanya yang lebih aman, bermartabat, dan stabil.







Komentar