Oleh: Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat
Indonesia bangga menjadi pembela Palestina yang teguh. Sejak era Sukarno, negara ini telah menolak hubungan dengan Israel dan secara konsisten menyatakan dukungan teguh terhadap negara Palestina. Di setiap pertemuan puncak dan setiap hari libur nasional, Jakarta mengingatkan dunia akan posisinya. Pada Hari Kemerdekaan tahun ini, Presiden Prabowo mengawasi pengiriman bantuan ke Gaza, sementara menteri luar negeri mendesak hal ini di forum multilateral. Majelis Ulama Indonesia bahkan telah mengeluarkan fatwa yang melarang dukungan tidak langsung untuk Israel.
Namun, di tengah meningkatnya jumlah pidato, kontrak bisnis negara ini menceritakan kisah lain. Indonesia diam-diam menyambut uang yang terkait dengan Israel ke dalam perekonomiannya—paling terlihat melalui Ormat Technologies, raksasa panas bumi yang didirikan di Israel. Suatu negara tidak dapat mengklaim memperjuangkan kebebasan Palestina sementara membiarkan perusahaan Israel mengambil untung dari tanahnya. Itu bukan solidaritas. Itu adalah kemunafikan.

Menurut deduktif.id, sebuah media investigasi Indonesia, Ormat telah merambah jauh ke dalam sektor energi terbarukan Indonesia. Perusahaan ini memiliki hampir separuh proyek panas bumi Ijen di Jawa Timur, saham besar di Sarulla di Sumatera Utara, dan kendali penuh atas sebuah unit di Sulawesi Utara. Perusahaan ini juga berekspansi di Maluku. Ini bukan kesepakatan yang kecil. Kesepakatan ini merupakan inti dari masa depan “energi hijau” Indonesia.
Menjadi tuan rumah Ormat tidak hanya bertentangan dengan dukungan Indonesia untuk Palestina—tetapi juga menghancurkan di dalam negeri. Di Bondowoso, dekat Ijen, penduduk melaporkan sumur-sumur yang tercemar, lahan pertanian yang hancur, dan ledakan yang begitu dahsyat sehingga sekolah-sekolah terpaksa ditutup. Emisi gas beracun masih tercium di udara, memicu kecemasan sehari-hari. Di Maluku, masyarakat adat yang menolak proyek Ormat dikriminalisasi dan diusir dari tanah leluhur mereka. Ini adalah pembangunan dalam bentuk perampasan—menggemakan kisah yang sangat dipahami oleh warga Palestina.
Ini bukan kebetulan. Israel telah bertahun-tahun menggunakan perusahaan seperti Ormat sebagai alat pengaruh, terutama di negara-negara tanpa hubungan diplomatik. Program Beasiswa Hasbara merekrut kaum muda—termasuk warga Indonesia—untuk pelatihan intensif di Yerusalem. Para peserta pulang dengan tugas untuk meningkatkan citra Israel dan menormalkan perusahaan-perusahaannya di luar negeri. Deduktif menemukan bahwa warga Indonesia telah mengikuti perjalanan ini, diterbangkan ke Israel, diberikan pandangan yang dikurasi dengan cermat tentang kehidupan di bawah pengepungan, dan dipulangkan untuk membentuk wacana publik.
Di Indonesia, kehadiran perusahaan ini telah meluas ke dunia akademis. Universitas-universitas bergengsi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) telah menjadi tuan rumah bagi para eksekutif Ormat, menyelenggarakan webinar bersama, dan bahkan meresmikan program magister panas bumi pada tahun 2025. Apa yang tampak seperti kolaborasi akademis, sebenarnya adalah pencucian uang politik—memberikan legitimasi kepada perusahaan yang didirikan Israel sementara Gaza kelaparan.
Mengapa Indonesia menoleransi hal ini? Rekam jejak Ormat di luar negeri sama sekali tidak meyakinkan. Hindenburg Research pada tahun 2021 mengungkap tuduhan penyuapan, pencucian uang, dan korupsi yang terkait dengan proyek-proyeknya di Guatemala, Kenya, dan Honduras. Jaksa Israel telah mengejar pejabat perusahaan atas tuduhan penyuapan dan penipuan sekuritas. Namun di Jakarta, perusahaan ini justru diterima sebagai mitra di sektor energi nasional.
Standar ganda ini sungguh mencengangkan. Indonesia membungkus dirinya dengan retorika solidaritas anti-kolonial tetapi memberikan kontrak-kontrak yang menguntungkan kepada perusahaan-perusahaan Israel. Indonesia mengecam pendudukan di luar negeri sementara membiarkan perampasan tanah di dalam negeri. Indonesia memuji fatwa yang menentang dukungan tidak langsung kepada Israel tetapi mengabaikannya dalam praktik.
Ini bukanlah inkonsistensi yang tidak berbahaya—ini secara aktif melemahkan perjuangan Palestina. Rezim apartheid Afrika Selatan tidak runtuh karena para pemimpin dunia memberikan pidato-pidato yang menggugah. Rezim ini runtuh karena pemerintah, perusahaan, dan universitas memutuskan hubungan. Boikot, divestasi, dan sanksi berhasil. Prinsip yang sama harus diterapkan di sini. Setiap dolar yang mengalir ke perusahaan-perusahaan yang didirikan Israel memperkuat sistem pendudukan dan perampasan.
Indonesia punya alternatif. Indonesia tidak membutuhkan Ormat. Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Uni Eropa semuanya siap membantu mendanai transisi energi terbarukan Indonesia. Mengatakan bahwa modal yang terkait dengan Israel sangat diperlukan sama saja dengan menerima keterlibatan sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Padahal tidak.
Jika Indonesia ingin menjadi lebih dari sekadar pendukung simbolis Palestina, Indonesia harus bertindak. Batalkan kontrak-kontrak Ormat. Larang perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Israel dari kesepakatan-kesepakatan di masa mendatang. Perintahkan universitas-universitas untuk mengakhiri kemitraan yang mencemarkan nama baik Israel. Tegakkan fatwa tersebut. Tunjukkan kepada dunia bahwa prinsip-prinsip Jakarta tidak untuk diperjualbelikan.
Pilihannya sangat jelas. Tetaplah menjadi suara paling lantang untuk Palestina dalam retorika, sementara dalam praktik justru melemahkannya. Atau, sesuaikan kata-kata dengan perbuatan dan buktikan bahwa solidaritas lebih berarti daripada simpati.
Tidak ada kesepakatan investasi yang dapat menyamarkan keterlibatan, dan tidak ada kontrak yang sepadan dengan pengkhianatan rakyat yang diduduki.
(Sumber: MEMO)







Komentar