Jual listrik ke Singapore? bego!
✍🏻Erizeli Bandaro
Di tengah euforia transisi energi dan jargon green economy, Indonesia kembali berada di persimpangan lama, apakah kita sedang membangun masa depan, atau sekadar mengulang pola lama, menjual sumber daya murah, lalu membeli kembali nilai tambahnya dengan harga mahal?
Saya mengerutkan kening kala mendengar reencana ekspor listrik tenaga surya ke Singapura. Para influencer pemerintah menyebar narasi kebanggaan atas rencana itu. Kalau dulu kita impor BBM dari Singapore, kini kita ekspor listrik ke Singapore. Game changer kata mereka, terdengar modern, visioner, dan “ramah lingkungan”.
Namun narasi itu samakin menunjukan ketidaktahuan pemerintah atas bagaimana sebenarnya bisnis green energy itu. Atau miskin literasi bisnis. Kalau itu tidak benar, maka dapat dipastikan memang otak bandit atau state capture.
Mengapa? Mari saya jelaskan secara sederhana. Engga perlu jadi professor atau PHD untuk tahu.
Dalam desain bisnis yang beredar, Indonesia diposisikan sebagai penyedia lahan, matahari, dan infrastruktur dasar untuk pembangkit listrik tenaga surya skala raksasa. Listrik kemudian dikirim melalui kabel bawah laut menuju Singapura.
Nah ini bukan karena Singapore tidak mampu membangun PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Tetapi memang Singapore tidak punya lahan luas. Pesisir pantai sudah padat. Satu satunya harapan adalah memakai lahan yang ada di Indonesia untuk PLTS. Ya money talk. Singapore memiliki pusat keuangan, industri, dan pasar karbon kelas dunia.
Apakah bisnis PLTS itu high profit? tidak. Ekspor listrik adalah bisnis utilitas ber-margin tipis. Tingkat pengembalian (IRR) proyek surya umumnya hanya 6–10 persen, dengan masa kontrak 25–30 tahun dan harga yang dikunci sejak awal.
Makanya Singapore minta orang Indonesia yang bangun PLTS. Karena kita bego. Sementara Singapura dengan impor listrik dari Indonesia mereka memperoleh akses listrik hijau yang dapat dikonversi menjadi green premium: untuk data center, industri teknologi, perdagangan karbon, hingga reputasi ESG global. Itu value added nya ribuan kali daripada PLTS. Mengapa ?
Perhatikan. Dalam ekonomi hijau, listrik bukan satu-satunya produk. Ada aset lain yang sering luput dari perhatian publik, yaitu Renewable Energy Certificate (REC), hak penghitungan emisi (carbon attribute), kredit karbon lintas batas, klaim net-zero korporasi. Itu menjadi hak Singapore sebagai user. Nilainya sering kali setara atau bahkan lebih tinggi dari harga listrik itu sendiri.
Artinya, matahari Indonesia membantu perusahaan asing menurunkan emisi di laporan keberlanjutan mereka—tanpa kompensasi setara bagi negara asal sumber energi.
Paham kan kalau saya katakan kebijakan ini tolol?
Nah pertanya berikutnya. Mengapa banyak orang pintar di pemerintah tetapi bodoh? Ini bukan soal pintar atau bodoh. Tetapi soal mindset. Sejarah ekonomi Indonesia menunjukkan pola yang berulang, yaitu ekspor bahan mentah, minim hilirisasi, dan nilai tambah dinikmati pihak luar.
Dalam versi baru, pola itu tampil lebih sopan dan ramah lingkungan. Tidak lagi batu bara, melainkan sinar matahari. Tidak lagi tambang, melainkan panel surya. Namun esensinya serupa. Indonesia menjadi ladang produksi, negara lain menjadi pusat akumulasi nilai.
Inilah yang oleh banyak ekonom disebut sebagai green extractivism—ekstraksi nilai atas nama keberlanjutan. Jika listrik surya hanya diekspor sebagai komoditas, maka tidak tercipta ekosistem industri, tidak lahir pusat teknologi, tidak tumbuh klaster manufaktur hijau, tidak terbentuk pasar karbon domestik yang kuat.
Apalagi kontrak ekspor listrik lintas negara umumnya bersifat jangka panjang dan mengikat. Harga dikunci ketika teknologi masih mahal. Padahal, tren global menunjukkan biaya energi surya terus turun drastic. Akibatnya? Indonesia bisa terjebak menjual listrik murah selama puluhan tahun, sementara teknologi, efisiensi, dan nilai tambah melonjak di negara pembeli. Ini bukan sekadar kesalahan bisnis, tapi kesalahan strategis antar-generasi.
So, bagaimana seharusnya? Ya pakai mindset bisnis. Caranya? Energi surya seharusnya menjadi input strategis, bukan barang dagangan utama. Nilai terbesar justru muncul bila listrik murah digunakan untuk produksi hidrogen hijau dan ammonia, pusat data dan AI, industri baterai dan kendaraan listrik, pengolahan mineral beremisi rendah, perdagangan karbon berbasis bursa domestic. Dalam skema ini, listrik menjadi pengungkit industrialisasi, bukan tujuan akhir. Itu cerdas namanya.
Apakah cara itu bisa diterapkan di Indonesia? Sementara modal bangun PLTS juga dari Singapore atas nama perusahaan lokal yang menjadi proxy Singapore. I dont think so..
Penutup
Transisi energi seharusnya menjadi jalan menuju kedaulatan ekonomi baru. Namun tanpa desain kebijakan yang cermat, ia justru berpotensi menjadi bentuk baru ketergantungan. Energi surya bukan sekadar kilowatt-jam. Ia adalah aset geopolitik, instrumen industri, dan simbol masa depan. Dan masa depan—seperti sejarah—tidak seharusnya dijual murah.
Negara yang kuat bukan negara yang menutup diri, melainkan yang tahu apa yang dijual, kepada siapa, dan dengan syarat apa. Jika tidak hati-hati, kita akan mengulangi pola lama, dulu menjual minyak, kayu, dan nikel; kini menjual matahari. Tolol!
Sumber:
https://erizeli.aboutbusiness.info/2025/12/jual-listrik-ke-singapore-bego.html







Komentar