Hamas telah menyerukan Israel untuk mengizinkan penyelidikan internasional yang tidak memihak atas serangannya pada 7 Oktober 2023 dan menolak tuduhan bahwa mereka telah membunuh warga sipil atau melakukan kekejaman.
Kelompok Palestina tersebut menerbitkan dokumen setebal 42 halaman pada hari Jumat (26/12/2025), yang memaparkan kronologi mereka tentang 7 Oktober, serta detail tentang genosida yang dilakukan Israel selanjutnya dan pandangan Hamas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di wilayah tersebut.
Sekitar 1.200 warga Israel tewas ketika Hamas dan kelompok lain melancarkan serangan mendadak di Israel selatan lebih dari dua tahun lalu. Sebanyak 251 orang lainnya dibawa ke Gaza sebagai tawanan.
Dalam dokumen baru tersebut, Hamas mengatakan bahwa “media Barat dan kelompok lobi Zionis” telah melancarkan kampanye disinformasi tentang peristiwa serangan tersebut.
“Entitas Israel menyebarkan serangkaian kebohongan dan kekeliruan tentang pembunuhan anak-anak dan pemerkosaan perempuan, membuka jalan untuk melanjutkan proyek genosida besar-besaran yang telah direncanakan sebelumnya dan bertujuan untuk menghapus Gaza dari muka bumi,” kata laporan Hamas.
Kelompok itu mengatakan bahwa beberapa hari setelah serangan itu, mereka telah menawarkan untuk membebaskan tawanan non-militer, tetapi Israel menolak tawaran tersebut.
Kemudian pada November 2023, selama gencatan senjata singkat, sekitar 100 tawanan dibebaskan sebagai imbalan untuk tahanan Palestina.
Hamas mengulangi pernyataan sebelumnya bahwa membunuh warga sipil bertentangan dengan “agama, moralitas, dan pendidikan; dan kami menghindarinya sebisa mungkin”.
“Perlawanan tidak menargetkan rumah sakit, sekolah, atau tempat ibadah; tidak membunuh satu pun jurnalis atau anggota kru ambulans. Kami menantang [Israel] untuk membuktikan sebaliknya,” katanya.
Ditambahkan bahwa laporan media, termasuk dari media Israel, telah mengungkapkan bahwa militer Israel membombardir daerah-daerah di Israel selatan tempat warga sipil Israel bercampur dengan pejuang Hamas, yang menurut Hamas merupakan contoh dari Protokol Hannibal .
Hannibal Directive atau Protokol Hannibal adalah sebuah prosedur militer kontroversial yang digunakan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Tujuannya adalah untuk mencegah penangkapan tentara atau warga Israel oleh pasukan musuh dengan cara apa pun, bahkan jika itu berarti membunuh sandera/warga mereka sendiri. Tewasnya warga sipil Israel pada serangan 7 Oktober bukan oleh pasukan Hamas, tapi justru dilakukan oleh IDF dengan membombardir melalui pesawat tempur hingga mobil-mobil tak ada yang utuh.

Hamas menyerukan penyelidikan yang tidak memihak atas kematian warga sipil pada 7 Oktober, serta penyelidikan atas kejahatan yang dilakukan Israel terhadap Palestina, termasuk perang di Gaza.
Pada Mei 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengumumkan telah meminta surat perintah penangkapan untuk tiga pemimpin Hamas, yang semuanya kemudian dibunuh oleh Israel, atas tuduhan membunuh ratusan warga sipil Israel dan menyandera orang pada 7 Oktober.
Jaksa ICC mengatakan para pemimpin tersebut memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan dan pemusnahan, serta kejahatan perang seperti penyanderaan dan perlakuan kejam terhadap tawanan, dan pelanggaran serius lainnya.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya, Yoav Gallant, juga dikenai surat perintah penangkapan ICC atas “kejahatan perang berupa kelaparan sebagai metode peperangan dan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya”.
‘Ledakan tak terelakkan’
Di bagian lain dokumen yang diterbitkan pada hari Jumat, Hamas menjabarkan motivasinya untuk serangan 7 Oktober.
Mereka menyebutkan 77 tahun pendudukan Israel atas tanah Palestina, blokade 17 tahun di Jalur Gaza, upaya Israel yang berulang kali merusak Perjanjian Oslo, meningkatnya ekstremisme sayap kanan Israel, penargetan warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki, serta kegagalan komunitas internasional untuk mengatasi pelanggaran tersebut.
“Perlawanan Palestina telah berulang kali memperingatkan bahwa ‘ledakan’ ini tak terelakkan jika agresi dan pengepungan terus berlanjut,” kata Hamas.
Dalam lebih dari dua tahun genosida di Gaza, Israel telah membunuh lebih dari 70.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 171.000. Mayoritas korban tewas adalah perempuan dan anak-anak.
Hamas mengatakan bahwa Banjir Al-Aqsa, nama sandi mereka untuk 7 Oktober, telah mencapai beberapa tujuan.
Hal ini termasuk membawa isu Palestina ke garis depan perhatian global, menciptakan isolasi internasional bagi Israel, mengungkap perpecahan sosial di Israel, memberikan pukulan terhadap kesepakatan normalisasi dengan Israel, meningkatkan jumlah negara yang mengakui negara Palestina, serta surat perintah penangkapan internasional untuk para pemimpin Israel dan Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional.
Dokumen tersebut menyimpulkan dengan mengatakan bahwa Hamas berakar dalam tatanan nasional Palestina dan tidak dapat diisolasi.
Rencana 20 poin Presiden AS Donald Trump untuk Gaza membayangkan masa depan di mana Hamas tidak memainkan peran militer atau politik.
Rencana Trump, yang mendukung pembentukan pasukan stabilisasi internasional di Gaza, disetujui oleh Dewan Keamanan PBB bulan lalu.
Resolusi tersebut disahkan dengan suara 13-0, dengan Tiongkok dan Rusia abstain, dan menempatkan Gaza di bawah kendali Trump, dengan “dewan perdamaian” yang mengawasi pasukan penjaga perdamaian multinasional, komite teknokrat Palestina, dan pasukan polisi setempat selama dua tahun.
Hamas kembali menegaskan penolakannya terhadap rencana tersebut dalam dokumen itu.
“Rakyat Palestina kami termasuk yang terkaya di dunia dalam hal keahlian dan kompetensi, dan memiliki semua sarana untuk mengelola urusan mereka sendiri.
“Upaya untuk memaksakan perwalian politik kepada mereka dari pihak mana pun ditolak dan hanya dapat dianggap sebagai bentuk pendudukan.”
(Sumber: MEE)







Komentar