Haji Agus Salim tidak sanggup membeli kain kafan anak beliau

Haji Agus Salim tidak sanggup membeli kain kafan anak beliau.

Coba kita bandingkan dengan pejabat zaman sekarang, kekayaannya melimpah ruah, bisa beli rumah mewah, kondominium, mobil mewah, punya duit milyaran.

Padahal, kurang apa posisi yang pernah ia sandang: salah satu dari sembilan perumus Pembukaan UUD 45, anggota dewan Volksraad, diplomat ulung yang berhasil meraih pengakuan internasional pertama bagi kemerdekaan RI, dan Menteri Luar Negeri era revolusi.

Haji Agus Salim lahir dengan nama asli Musyudul Haq (bermakna “pembela kebenaran”) di Koto Gadang, 8 Oktober 1884. Ayahnya, Sultan Mohammad Salim, adalah seorang jaksa dan hakim kolonial dengan pangkat tertinggi sebagai hakim ketua pengadilan adat di Tanjung Pinang.

Di masa kanak-kanak, keluarganya merekrut pengasuh dari Jawa Timur. Panggilan sayang sekaligus hormat untuk anak laki-laki khas Jawa Timur termasuk Madura adalah “Gus”. Sapaan itu yang selalu dipakai sang pengasuh, sampai akhirnya malahan mengaburkan nama aslinya. Teman-teman sekolahnya ikut memanggil “Gus” lalu “Agus”. Karena ayahnya bernama Sutan Mohammad Salim, maka nama Salim ditambahkan sehingga menjadi Agus Salim. Di sekolah pertamanya, ia terdaftar sebagai “August Salim”.

Nama Agus Salim memang tak sebesar Soekarno atau Mohammad Hatta. Namun, perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan masa awal berdirinya republik sangat besar. Sebagai Menteri Luar Negeri (1947-1948), Salim menjadi tokoh kunci dalam diplomasi Indonesia di dunia internasional.

Selaku Menteri Luar Negeri, Haji Agus Salim memimpin delegasi Indonesia ke Timur Tengah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Berkat kepiawaiannya berbahasa Arab dan adab Islamnya yang mengesankan, Indonesia berhasil memperoleh pengakuan formal dan dukungan moral kemerdekaan dari Mesir (10 Juni 1947), Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947).

Ini adalah prestasi besar, karena merupakan pengakuan de jure pertama dari masyarakat internasional bagi eksistensi Republik Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Pengakuan ini terasa kian berharga kalau diingat saat itu Indonesia terikat dengan Perjanjian Linggarjati yang hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayahnya. Pengakuan Mesir berlaku untuk wilayah Indonesia yang meliputi semua bekas Hindia Belanda. Mesir tidak berubah sikap sekalipun diprotes habis-habisan oleh Belanda.

Kepiawaiannya berbahasa dan berdiplomasi membuatnya dihormati banyak pihak, termasuk oleh tokoh asing. Perdana Menteri Belanda, Willem Schermerhorn, sampai kagum atas sikapnya.

“Orang tua yang sangat pintar ini (Agus Salim) seorang jenius dalam bidang bahasa, bicara, dan menulis dengan sempurna, paling sedikit sembilan bahasa, tapi punya satu kelemahannya yaitu selama hidupnya melarat,” ungkap PM Belanda Willem Schermerhorn, dalam Het Dagboek van Schermerhorn (1946).

Apa yang disampaikan orang nomor satu di Belanda soal kemelaratan Salim memang benar. Pria kelahiran 8 Oktober itu memang penuh kesederhanaan dan cenderung melarat. Pada umumnya, diplomat selalu tampil rapih berjas untuk membentuk citra diri baik di hadapan para utusan asing. Agus Salim tidak seperti itu. Meski sering hadir dalam acara resmi, dia tidak pernah berusaha tampil mewah.

“Jas yang dia kenakan dalam acara-acara resmi sering kali terlihat kumal dan topi yang dia pakai pun bukan barang baru,”

Gaya hidup sederhana itu bukan karena tak mampu, melainkan karena pilihan untuk menjauh dari kemewahan. Bahkan selama menjabat dan pensiun, Agus Salim tidak memiliki rumah sendiri. Dia tinggal di rumah kontrakan dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Sangat bokeh jadi tidak ada tokoh bangsa yang semelarat namun sebahagia Haji Agus Salim. Bung Hatta masih punya rumah di kawasan Menteng. Agus Salim boro-boro punya rumah. Sampai wafat ia tetap berstatus “kontraktor”. Kediamannya berupa rumah sempit di gang sempit pula masih berstatus sewa, sampai ia wafat pada 4 November 1954.

Baru setelah itu, beberapa tahun kemudian setelah wafatnya, anak-anaknya patungan membeli rumah kontrakannya itu demi mengenang sang ayah. Sepanjang hidupnya Agus Salim hidup nomaden, berpindah-pindah dari kontrakan di satu gang ke gang lainnya di berbagai kota.

Kisah paling menyentuh datang ketika salah satu anaknya yang masih bayi meninggal dunia. Dia sampai tak mampu beli kain kafan. Karena tidak memiliki uang untuk membeli kain kafan, Agus Salim dengan tenang mengambil taplak meja dan kain kelambu yang sudah terpakai untuk membungkus jenazah anaknya.

Saat seorang kolega menawarkan bantuan uang untuk membeli kain kafan baru, Agus Salim menolak dengan bijak, “Tidak apa-apa. Simpan saja uang itu untuk yang masih hidup dan memerlukan. Ini cukup. Anak saya ini tidak memerlukan apa-apa lagi.”

Sikap hidup seperti ini sudah memang melekat pada dirinya sejak muda.

Pada masa 1920-an, meski berasal dari keluarga terpandang, yakni anak seorang jaksa di masa kolonial, Salim memilih hidup sederhana.

Dia pernah tinggal di rumah kontrakan di Tanah Tinggi yang jalannya berlumpur di musim hujan, atau menumpang di rumah seorang kawannya.

Kesederhanaan itu dijaganya sampai akhir hayat pada 4 November 1954. Saat berpulang, pemerintah kemudian memakamkannya di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara kenegaraan.

Lahul Fatihah…

Komentar