Gila! Atas Bawah Maut, Getirnya Bencana Kali Ini

Di sudut lain Indonesia, jauh dari hiruk pikuk ruang rapat dan perdebatan mengenai gaya hidup ramah lingkungan di kota besar, ada kisah getir yang tak banyak terdengar. Di Tapanuli Selatan, yang hilang bukan sekadar fasilitas atau kenyamanan, melainkan akses hidup. Jembatan yang selama ini menjadi urat nadi warga tiba-tiba ambruk setelah tanah tak lagi kuat menahan derasnya longsor. Sejak itu, perjalanan melintasi sungai berubah menjadi taruhan nyawa.

Bayangkan, sungai yang semula hanya jalur air kini menjadi jurang maut. Arus coklat yang mengamuk bagaikan raksasa tak sabar menelan apa pun yang tersentuhnya. Di atas derasnya air, warga terpaksa menggantungkan nasib pada sisa kabel listrik yang lusuh, satu-satunya alat untuk menyeberang. Dalam sebuah rekaman video yang beredar, tampak warga merayap di kabel sempit itu, dengan tubuh basah diterpa angin, berpegangan pada kehidupan yang begitu rapuh. Sedikit terpeleset, sedikit salah kalkulasi, antara hidup dan hanyut hanya terpisah sekedar genggaman.

Kondisi seperti ini bukan berlangsung sehari dua hari. Sudah berbulan sejak jembatan itu runtuh, dan setiap hari warga dipaksa mempertaruhkan nyawa sekadar untuk sekolah, bekerja, atau membeli kebutuhan pokok. Seruan agar pemerintah segera memperbaiki jembatan menggema, namun aliran banjir dan longsor terus menjadi ancaman tanpa kompromi.

Sementara itu, laporan resmi Pusdalops PB Sumatera Utara memperlihatkan betapa luasnya luka bencana kali ini. Tak hanya Tapanuli Selatan, tetapi total 13 kabupaten/kota ikut terseret dalam badai petaka, banjir, banjir bandang, hingga longsor yang tak pilih waktu. Dari Langkat hingga Tapanuli Utara, dari Mandailing Natal sampai Nias Selatan, dan menjalar ke Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Deliserdang, bahkan Kota Binjai, Medan, hingga Sibolga, semua terdampak, semua merasakan getirnya hari-hari yang tak lagi aman.

Bencana kali ini seperti dua sisi maut yang menjepit: tanah bergerak dari atas, air menggila dari bawah. Bukan cuma rumah dan akses transportasi yang hilang, tapi rasa aman, rasa tenang, dan kehidupan yang sebelumnya berjalan biasa saja. Di tengah deras sungai yang bergulung, di atas kabel yang hanya seujung jari dari patah, warga bertahan bukan karena berani, tapi karena tak ada pilihan lain.

Di balik angka dan laporan resmi, ada manusia yang setiap harinya menatap maut dan tetap melangkah. Dan kita menyadari satu hal: di negeri ini, terkadang bertahan hidup adalah bentuk keberanian paling ekstrem.

Komentar