Dulu 1 Ringgit Malaysia cuma Rp2.000-an, Sekarang sudah tembus Rp4.000. KENAPA BISA BEGITU?

Dulu, waktu 1 ringgit cuma setara Rp2.000-an, banyak yang bilang Malaysia itu “tetangga sebelah yang suka gaya-gayaan.”

Sekarang, 1 ringgit udah tembus Rp4.000, dan mendadak semua orang jadi ekonom dadakan di grup WhatsApp. Katanya, “gak usah panik, ini cuma fluktuasi.” Tapi kalau fluktuasinya kayak roller coaster tanpa rem, kayaknya yang gak panik cuma orang yang udah gak punya tabungan.

Menurut laporan CNBC Indonesia, Selasa (11/11/2025), nilai tukar rupiah baru aja mencatat rekor terendah terhadap ringgit Malaysia sejak 2007.

Di negeri jiran, ringgit sedang unjuk gigi. Malaysia sukses mempertahankan stabilitas kebijakan moneter lewat Bank Negara Malaysia (BNM), dan ekonomi mereka sedang dalam mode optimis. Singkatnya, mereka ngerem dengan elegan, sementara kita ngerem pakai kaki.

Ringgit kuat bukan karena mereka tiba-tiba jadi superpower, tapi karena kita sedang kehilangan daya tarik di mata investor. Bagi pasar, stabilitas politik dan kebijakan yang konsisten itu lebih berharga dari segala janji populis yang numpuk di podium kampanye.

Yang bikin lucu, setiap kali rupiah melemah, pejabat kita punya tiga jurus klasik, pertama, bilang “ini faktor global.” Kedua, bilang “fundamental kita masih kuat.” Ketiga, minta rakyat “tenang dan tetap optimis.” Ya gimana gak tenang, wong optimis udah jadi satu-satunya aset yang nilainya belum jatuh. Tapi kalau grafik rupiah terus turun, lama-lama yang kuat cuma iman.

Di balik anjloknya rupiah ini, ada beberapa faktor yang saling dorong. Dolar AS lagi naik karena suku bunga tinggi, investor asing balik ke pasar yang dianggap aman, dan beberapa negara termasuk Malaysia, mampu bikin kebijakan moneter yang bikin uang betah di sana.

Sementara Indonesia? Lagi sibuk ngejar target pertumbuhan tapi lupa jaga nilai mata uangnya. Hasilnya, ekspor stagnan, impor mahal, dan pelaku pasar mulai ragu.

Kondisi ini juga memperlihatkan paradoks ekonomi kita, setiap kali rupiah melemah, pemerintah bilang “bagus untuk ekspor.”

Tapi realitanya, mayoritas pelaku ekspor kita masih tergantung bahan baku impor. Jadi kalau nilai tukar jeblok, ongkos produksi malah naik duluan. Ibarat mau senang karena dapat bonus, tapi lupa kalau cicilan juga ikut naik.

Yang bikin ironi makin dalam Malaysia dulu sering dibanding-bandingkan dengan kita. Dulu mereka jadi benchmark, sekarang udah jauh melesat.

Padahal, dua dekade lalu, ekonomi Indonesia sempat lebih besar dari mereka. Tapi konsistensi kebijakan dan pengelolaan fiskal mereka ternyata lebih disiplin. Sementara kita sibuk menambal defisit, mereka sibuk menata arah. Hasilnya? Mereka stabil, kita debat soal siapa yang salah.

Kalau melihat grafik yang ditampilkan CNBC, pergerakan rupiah terhadap ringgit mirip detak jantung pasien stres naik sedikit, lalu turun tajam lagi. Dan seiring ringgit menguat, rupiah makin tertekan karena investor global mulai berpaling.

Bahkan analis dari MUFG Bank menyebut Malaysia bakal terus memperkuat posisi makronya hingga akhir tahun dengan potensi nilai MYR di level 4,15 terhadap dolar AS. Artinya, ringgit masih punya bensin buat lanjut melaju, sementara rupiah udah mulai minta dorongan.

Jadi kalau hari ini 1 ringgit sama dengan Rp4.000, mungkin ini bukan sekadar berita ekonomi. Ini pengingat keras bahwa kekuatan negara bukan cuma soal gedung tinggi dan proyek besar, tapi seberapa siap kita menghadapi realitas tanpa terus berlindung di balik kata “sementara.” Karena di ekonomi, “sementara” sering berarti “selamanya.”

(Sumber: fb PECAH TELUR)

Komentar