DJP Bongkar Kejanggalan Ekspor! 87 Kontainer Sawit Disulap Jadi “Limbah”

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mengungkap adanya kejanggalan serius dalam laporan ekspor-impor sejumlah komoditas, terutama sektor minerba dan kelapa sawit. Data perdagangan internasional dari negara tujuan ekspor menunjukkan angka jauh lebih besar dibanding laporan wajib pajak di dalam negeri.

Temuan terbaru DJP bahkan mengungkap 87 kontainer sawit yang diekspor menggunakan kode HS “limbah” agar bebas bea keluar, padahal isinya komoditas sawit bernilai tinggi.

Praktik manipulasi ini membuka ruang penghindaran pajak melalui under invoicing dan penyalahgunaan kode HS.

***

Narasi biofuel berbasis kelapa sawit (CPO) kerap dipromosikan sebagai jalan keluar: kemandirian energi, pengurangan impor BBM, dan solusi hijau.

Namun di balik slogan itu, realitas kebijakannya jauh lebih problematik. Biofuel dari CPO bukan hanya tidak efisien secara ekonomi, tetapi juga menciptakan moral hazard yang luas—dan mahal—bagi negara.

Pertama, dari sisi efisiensi.

Produksi biodiesel dari CPO tidak pernah benar-benar kompetitif tanpa subsidi. Harga CPO mengikuti pasar global, sementara harga energi domestik ditekan demi stabilitas sosial. Selisih ini ditutup oleh negara melalui skema subsidi dan insentif fiskal. Artinya, APBN secara rutin dipakai untuk menjamin margin usaha segelintir pelaku yang memiliki kilang (refinery)—bukan untuk mendorong inovasi energi yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Struktur industrinya pun timpang. Petani sawit tidak menikmati manfaat utama biofuel. Nilai tambah terbesar mengalir ke pemilik refinery dan trader terintegrasi, yang umumnya berada dalam kelompok konglomerasi besar. Negara, dalam posisi ini, bukan pembeli cerdas, melainkan penjamin keuntungan.

Kedua, persoalan moral hazard.

Industri sawit sudah lama hidup dengan disparitas (perbedaan) harga domestik (dalam negeri) dan ekspor yang sangat lebar. Skema Domestic Market Obligation (DMO) menetapkan harga lebih rendah untuk kebutuhan dalam negeri, sementara harga ekspor mengikuti pasar global. Perbedaan ini menciptakan insentif besar untuk transfer pricing, under invoicing, hingga penyelundupan fisik.

Temuan terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memperlihatkan betapa luasnya problem ini. Data perdagangan dari negara tujuan ekspor menunjukkan nilai ekspor komoditas—terutama sawit dan minerba—jauh lebih besar dibanding laporan wajib pajak di dalam negeri. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyebut selisih ini sebagai indikasi kuat bahwa transaksi ekspor tidak dilaporkan secara utuh dalam SPT maupun dokumen kepabeanan.

Yang lebih mengkhawatirkan, DJP mengungkap kasus 87 kontainer sawit diekspor dengan kode HS “limbah”, sehingga bebas bea keluar, padahal isinya adalah komoditas sawit bernilai tinggi. Ini bukan kesalahan administrasi biasa. Ini adalah manipulasi sistematis, memanfaatkan celah regulasi untuk menghindari pajak dan kewajiban negara.

Di sinilah paradoks besar kebijakan biofuel sawit muncul. Negara memberi subsidi energi, melindungi harga domestik, dan menyediakan berbagai insentif fiskal. Tapi di saat yang sama harus menghadapi kebocoran penerimaan akibat praktik penghindaran pajak dan manipulasi perdagangan. Subsidi mengalir ke hulu dan hilir, sementara penerimaan bocor di pintu ekspor.

Masalahnya bukan hanya fiskal. Moral hazard sawit tumbuh subur karena uangnya mudah. Lahan luas, ekspansi cepat, dukungan kebijakan kuat, dan pasar global yang likuid menciptakan ekosistem rente. Dalam ekosistem seperti ini, kepatuhan pajak menjadi biaya yang ingin dihindari, bukan kewajiban yang dijaga.

Jika dibiarkan, negara akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama: subsidi untuk menopang industri yang tidak efisien, lalu kehilangan penerimaan karena praktik curang yang dibiarkan terlalu lama. Biofuel yang seharusnya menjadi transisi energi justru berubah menjadi instrumen transfer kekayaan dari publik ke segelintir pelaku.

Kebijakan energi tidak bisa berdiri terpisah dari tata kelola fiskal dan perdagangan. Tanpa penegakan pajak yang tegas, tanpa koreksi terhadap distorsi harga DMO, dan tanpa keberanian mengakui bahwa biofuel sawit adalah solusi sementara—bukan masa depan—negara hanya sedang menunda krisis dengan biaya yang semakin mahal.

Energi hijau seharusnya mengurangi beban negara. Jika justru memperbesar subsidi, memperlebar rente, dan membuka ruang manipulasi, maka yang hijau bukan energinya—melainkan keuntungan segelintir pihak.

(Erizeli Jely Bandaro)

Komentar