Demul dan PKS

Oleh: Mama Afifah (Nur Fitriyah As’ad)

Beberapa kali saya menonton podcast Dedi Mulyadi. Saya menangkap satu hal penting: mengapa ada orang yang meski bukan lulusan kampus ternama, tanpa gelar panjang, justru mampu merebut hati mayoritas rakyat dan akhirnya naik menjadi pemimpin?

Jawabannya sederhana, karena mereka menghadirkan diri tanpa jarak dengan masyarakat. Mereka menggunakan bahasa yang membumi, bahasa yang membuat rakyat kecil merasa setara, tidak minder, dan tidak perlu “naik pangkat” dulu hanya untuk bisa bicara dengan pemimpinnya.

Bandingkan dengan sebagian elit PKS, umpamanya. Saya mengakui kecerdasan, integritas, kepemimpinan dan kejujuran sebagian besar kader PKS.

Tapi saya melihat, penampilan mereka begitu rapi, akademis, alim, bersih, necis, dan nampak terlalu formal. Semua atribut itu memang terlihat baik, dan sebagai kader Muslim harusnya demikian, kan?!

Tapi bagi rakyat kecil Indonesia, hal seperti itu terkesan menciptakan jarak. Rakyat kecil yang hidupnya kumal, kotor, berdebu, awut-awutan, dan sering tidak paham aturan sehari-hari merasa ada dinding yang tak kasatmata.

Apa peduli rakyat kecil dengan isi otak dan hati seseorang? Yang mereka tahu hanyalah apakah orang itu bisa duduk bersama mereka di warung kopi, bisa tertawa dengan nada yang sama, dan terkesan bisa ikut merasakan getir kehidupan yang mereka jalani.

Sosok yang ketawa ngakak, bercanda level preman pasar, atau bahkan sesekali ngamuk.

Lihat bagaimana Jokowi dulu naik. Dia tampil dengan bahasa tubuhnya sederhana, bicaranya pelan, kadang canggung, tapi justru itulah yang membuat rakyat merasa “dia kayak kita.” Jokowi masuk ke gang sempit, duduk lesehan di warung, dan rakyat kecil merasa tidak perlu merapikan diri dulu untuk menyambutnya.

Prabowo pun akhirnya belajar. Dahulu ia dikenal sebagai sosok elit militer, penuh wibawa, berjarak dengan rakyat kecil. Namun dalam beberapa tahun terakhir, ia mengubah gaya. Ia tampil dengan bahasa sederhana, sering bercanda, kadang bicara kasar persis seperti cara bicara rakyat kecil.

Ia mengesankan diri bukan hanya sebagai jenderal yang kuat, tapi juga sebagai kawan yang bisa tertawa bersama.

Itulah psikologis mayoritas masyarakat kita. Mereka lebih cepat menangkap bahasa tubuh daripada isi visi-misi.

Mereka lebih mudah percaya pada tawa yang terkesan tulus – meskipun menyembunyikan niat licik – daripada gelar akademik yang panjang.

Kadang, justru pemimpin yang bisa berbicara dengan bahasa yang sederhana seperti rakyat kecil malah lebih diterima ketimbang menggunakan bahasa akademik dan elit.

Faktanya memang mayarakat elit akademis yang masih memperhatikan latar belakang, visi misi, kepemimpinan, pemahaman dan pengamalan agama, itu mungkin berapa persen saja dari mayoritas rakyat Indonesia.

Di sinilah PKS, sering keliru membaca medan. Mereka sibuk menata citra rapi, alim, dan akademis, padahal mayoritas rakyat justru mencari figur yang nampak “apa adanya”.

Politik di Indonesia tidak bisa semata-mata dijalankan dengan logika elit. Ia harus masuk ke logika rakyat kecil, logika rasa, bukan logika nalar semata.

Selama gap itu belum dijembatani, PKS akan tetap dikenal sebagai partai yang rapi, bersih, idealis, tapi tidak dianggap sepenuhnya membumi.

Dan rakyat kecil, yang jumlahnya mayoritas, akan terus mencari sosok lain yang bisa mereka sebut “seperti kita”.

Itulah rakyat kita. Ya, begitulah adanya.

*sumber: fb penulis

Komentar