✍🏻Balqis Humaira
Lo tau nggak, Zul? Iya, Zulkifli Hasan. Gue ngomong langsung ke nama lo, karena udah terlalu lama rakyat dicekik sambil disuruh pura-pura buta. Gini ya, gue udah bosen liat pejabat senyum manis di depan kamera, foto panen raya, foto bagi sembako, tapi di balik senyum itu ada tanda tangan yang bikin hutan Sumatera jungkir balik kayak digilas truk tambang.
Dan buat orang-orang yang masih sibuk ngegosipin aib seleb, dengerin baik-baik: banjir yang merendam kampung lo, longsor yang ngubur rumah orang, gajah yang ditemukan mati kayak sampah—itu bukan cerita horor. Itu dampak dari kebijakan pejabat atas nama izin, regulasi, dan surat keputusan.
Dan salah satu pejabat yang namanya nempel banget di sejarah pembabatan hutan Indonesia ya Zulkifli Hasan. Mau manis-manisin pake jabatan Menteri Perdagangan, mau diingat sebagai Ketua PAN, mau dielu-elukan sebagai tokoh politik santun—tetep aja ada jejak tinta yang bikin hutan Tesso Nilo tinggal serpihan peta.
Gue nggak pakai basa-basi.
Gue ngomel apa adanya.
Karena yang gue lihat sekarang bukan cuma rusaknya hutan, tapi rusaknya akal sehat bangsa ini, yang rela ngasih karpet merah buat pejabat yang izin-izinnya punya imbas segede bencana alam.
Lo tau Tesso Nilo?
Taman Nasional yang harusnya ikon, paru-paru Sumatera, rumahnya gajah Sumatera, harimau, tapir, semua satwa yang nggak salah apa-apa.
Sekarang?
Tinggal kayak luka menganga. Dulu hutannya sekitar 83 ribu hektar. Hari ini yang tersisa cuma bayangan masa lalu. Sawit ilegal masuk dari segala arah. Perambahan merajalela. Hutan primer hancur kayak kertas disobek-sobek. Masyarakat jadi korban, satwa jadi korban, alam jadi korban.
Dan lo tau siapa yang dulu duduk di kursi Menteri Kehutanan waktu izin-izin pelepasan kawasan marak dikeluarkan?
Zulkifli Hasan.
Gue nggak bilang lo yang nebang pohonnya sendiri. Tapi gue bilang gini: setiap izin itu adalah lampu hijau. Setiap tanda tangan itu mengubah ekosistem. Setiap kali pejabat buka mulut soal pembangunan, ada hutan yang diam-diam dikubur.
Dan imbasnya?
Dirasain warga Sumatera sekarang.
Banjir di mana-mana. Longsor tiba-tiba. Sungai meluap sampai ke dada.
Air deras turun tanpa rem karena nggak ada lagi akar pohon yang nahan. Dulu hutan itu kayak spons—nyerap air, ngatur aliran. Tapi kalau sponsnya dibakar buat perkebunan sawit, ya jangan kaget kalau air bah turun kayak balas dendam.
Gue sebel banget ketika masyarakat yang jadi korban, tapi pejabatnya sibuk pencitraan.
Ada yang bilang, “Ini bencana alam.”
Bencana alam dari sononya apaan?
Ini bencana dari kebijakan manusia, bukan marahnya bumi. Yang bikin gemuk rekening perusahaan sawit itu manusia. Yang ngelegalin pembukaan kawasan itu manusia. Yang bikin hutan jadi tanah kosong itu manusia juga.
Dan lagi-lagi, banyak yang lupa: kebijakan kehutanan era Zulkifli Hasan tercatat sebagai salah satu periode paling agresif dalam pelepasan kawasan untuk kepentingan perkebunan. Itu fakta yang udah berkeliaran di banyak laporan organisasi lingkungan, peneliti, sampai investigasi jurnalis.
Tapi masyarakat disuruh lupa.
Dikasih hiburan gosip.
Dikasih tontonan influencer berantem.
Dikasih drama politik yang dibungkus pencitraan.
Sementara gajah Sumatera mati kena racun.
Sementara hutan Tesso Nilo gosong jadi petak-petak sawit ilegal.
Sementara banjir menghancurkan rumah warga kecil, yang bahkan nggak pernah tahu apa-apa soal “izin pelepasan kawasan.”
Gue pertanyaan satu hal, Zul.
Lo pernah turun langsung ke warga yang kebanjiran karena hutan di hulunya habis?
Lo pernah lihat anak-anak tidur di lantai basah karena air sungai naik sampai kasur?
Lo pernah dengar suara ibu-ibu yang rumahnya kebawa longsor?
Gue yakin enggak.
Karena kalau pernah, lo pasti tau sakitnya kehilangan rumah.
Tapi kayaknya, selama tanda tangan pejabat masih jadi komoditas yang bisa ngubah lanskap hutan, warga cuma angka statistik.
Gue sebel banget dengan dalih “pembangunan.”
Karena dari dulu sampai sekarang, alasan itu dipakai kayak selimut buat nutupin keserakahan.
“Demi ekonomi.”
“Demi pertumbuhan.”
“Demi bangsa.”
Padahal demi siapa?
Bangsa? atau kelompok?
Rakyat? atau korporasi?
Lingkungan? atau suara pemilu?
Jangan pura-pura lupa: setiap hektar hutan yang hilang itu menurunkan kualitas hidup manusia. Termasuk manusia yang nggak pernah nyentuh urusan perkebunan sawit. Termasuk warga miskin yang cuma ingin hidup aman tanpa harus nyari anaknya hanyut dibawa arus.
Gue juga mau ngomong ke publik:
Lo semua jangan cuma fokus ke skandal selebriti.
Skandal yang jauh lebih penting itu ada di meja pejabat, dalam bentuk tanda tangan yang ngerombak ekosistem.
Karena aib seleb nggak bikin kampung lo kebanjiran.
Tapi deforestasi bikin.
Dan Zul, lo harus denger ini: rekam jejak lo bukan cuma catatan administratif. Itu jejak ekologis. Itu jejak penderitaan warga. Itu jejak rusaknya hutan yang nggak akan balik dalam seratus tahun.
Lo mungkin bisa bilang:
“Itu bukan salah saya.”
“Itu proses birokrasi.”
“Itu program nasional.”
Tapi gue bilang gini:
Pemimpin itu dinilai dari dampak ke rakyat, bukan alibi yang dia siapin.
Dan dampak kebijakan lo terasa sampai hari ini.
Sumatera banjir bukan karena alam jahat.
Tesso Nilo hancur bukan karena cuaca.
Gajah mati bukan karena karma.
Ini imbas tata kelola.
Imbas kebijakan.
Imbas tanda tangan pejabat.
Termasuk tanda tangan lo.
Kalau lo masih mikir semua ini cuma isu kecil, coba lo tidur di rumah warga yang kebanjiran.
Coba lo lihat anak gajah yatim yang kehilangan induknya.
Coba lo hirup asap sambil lihat hutan terbakar.
Coba lo jawab satu pertanyaan:
Berapa banyak nyawa lagi yang harus rusak sebelum pejabat mengakui bahwa kebijakan salah arah itu punya konsekuensi?
Gue nggak butuh jawaban manis.
Karena yang gue mau, cuma satu:
Jangan lagi rakyat disuruh tutup mata atas apa yang dilakukan pejabat kepada hutan yang seharusnya jadi warisan.
Dan Zul, namamu sudah tercatat di sejarah itu.
Bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai pejabat yang kebijakannya ikut membuat Sumatera berdarah air mata.
(sumber: fb)







Komentar