Dari awal saya sudah yakin Barang ini akan “busuk” pada ujungnya

✍🏻Catatan Agustinus Edy Kristianto

Saya dikirimi tautan berita pailit TELE—dulu namanya Tiphone (PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk), lalu berganti PT Omni Inovasi Indonesia Tbk.

Kenapa pailitnya TELE punya nilai berita? Karena pada 18 September 2014, BUMN Telkom melalui anak perusahaannya, PT PINS Indonesia, membeli 25% kepemilikan saham senilai Rp1,395 triliun.

Dulu, siapa yang tidak terhipnotis dengan narasi betapa hebatnya bisnis perusahaan besutan Hengky Setiawan ini, apalagi menjelang Telkom masuk. Tapi, saya juga sering menyinggung bahwa barang ini akan busuk pada ujungnya.

Jauh sebelum berita pailit ini, saya pernah tulis—mengutip laporan keuangan Telkom 2021—bahwa Telkom sudah mengakui penurunan nilai penuh (full impairment) atas investasi di Tiphone itu karena keraguan atas kelangsungan bisnis, kondisi keuangan, dan penangguhan saham.

Tapi, bak polisi India yang digambarkan di film sebagai penegak hukum yang datangnya telat kesiangan, ketika isu itu ramai, KPK sok tegas menyatakan tengah menyelidiki dugaan korupsi investasi Telkom di Tiphone itu—sesuatu yang mirip dengan skandal Whoosh yang awalnya semangat bilang menyelidiki, tapi loyo begitu presiden bilang “tak ada masalah,” seolah di negara ini presiden adalah sekaligus hakim yang memutus bersalah-tidaknya orang.

Bekas Direktur Utama PT PINS Indonesia, Slamet Riyadi, pernah diperiksa KPK pada 1 Oktober 2020. Tapi, setelah itu tak ada kabar lanjutan penyelidikan. Yang terdengar malah berita seorang deputi penindakan KPK (kini jadi kepala badan di Mabes cokelat) yang ‘digerebek’ tim khusus KPK karena kedapatan sedang memberikan ‘konsultasi khusus’ kepada para terperiksa kasus Tiphone-PINS/Telkom di suatu lokasi di Jakarta Selatan.

Baik kabar penyelidikan kasus TELE maupun penggerebekan itu pun menguap sampai saat ini kita membaca berita TELE pailit—ada juga yang curiga sengaja dipailitkan sebagai strategi keluar (exit strategy) investor yang sudah terpojok.

Ketika barangnya busuk dan rugi, gampang saja pejabat ngoceh tentang risiko bisnis, penurunan nilai (impairment) yang dicatat secara akuntansi, dan sebagainya.

Bahkan, ketika barang itu diproses hukum pun, masih bisa diolah lagi sebagai komoditas oleh sebagian penegak hukum, sehingga tak ada satu pun yang dihukum.

Itulah mengapa setelah skandal TELE, saya cerewet banget tentang keputusan BUMN Telkomsel membeli saham GOTO Rp6,4 triliun.

Apa yang terjadi di TELE sangat mungkin terjadi di GOTO—mungkin tak persis sama, tapi garis besarnya sama.

Bahasa judul berita di Kontan masih cukup halus: TELE dan GOTO Simbol Buruknya Pilihan Portofolio Investasi Manajemen Telkom di Masa Lalu (6/11/2025).

Pilihan buruk pasti ada latar belakang yang memengaruhinya. Dalam kasus GOTO, saya menduga ada konflik kepentingan karena GOTO adalah perusahaan milik kakak Menteri BUMN yang lagi menjabat.

Dalam kasus TELE, dugaan saya karena memang ada kelompok gabungan swasta-BUMN yang betul-betul niat ‘mengolah’ duit Telkom sejak awal.

Kasus TELE dan GOTO terjadi semasa hopeng-nya (sahabat karib) Presiden Prabowo berkuasa: Mulyono.

Apakah Presiden Prabowo mau lantang bertanggung jawab juga seperti dalam kasus Whoosh?

Apakah dugaan-dugaan skandal seperti ini harus kita anggap sebatas kekurangan masa pemerintahan sebelumnya yang tak harus kita ungkit lagi, dan sebaliknya disimpan rapat-rapat sebagai bukti kalau kita menghormati jasa pemimpin sebelumnya?

Jangan-jangan, setelah retorika berapi-api, langkah selanjutnya dari presiden adalah mengusulkan RUU Mikul Dhuwur Mendem Jero—toh, kita tahu semua bahwa mayoritas DPR adalah koalisi pendukungnya.

Apapun bisa dibuatnya!

Salam,
AEK

Komentar