Saat jam tangan Sahroni yang dipungut oleh seorang anak SMP viral, yang ternyata harganya 11 miliar, ada netizen yang berkomentar:
“Kok bisa ya mereka beli jam tangan Rp11 miliar, sementara kita emas segram saja nggak kebeli?”
Manteman, orang kaya itu bukan berarti kerjanya lebih keras atau lebih lama dari kita.
Kita kerja 12 jam sehari, sedangkan mereka kerja 25 jam sehari, gitu? Tentu saja tidak.
Bedanya ada di akses, kesempatan, dan posisi.
- Kita pedagang kecil, jual gorengan untung Rp500 per biji. Kalau habis 100 biji, ya dapat untung Rp50.000 ribu sehari. Sebulan cuma 1.500.000
- Kita karyawan, gaji UMR Rp4-5 juta per bulan, itu pun habis untuk bayar kontrakan, cicilan, dan kebutuhan harian 1 keluarga.
Sementara mereka? Sekali dapat tender proyek jalan tol, untung bersihnya bisa ratusan miliar bahkan triliunan.
Sekali tanda tangan izin impor beras atau gula, margin yang masuk ke kantong bisa cukup untuk hidup nyaman tujuh turunan.
Sekali jual beli saham perusahaan tambang, keuntungannya bisa membeli ratusan rumah subsidi rakyat kecil.
Jadi kalau jam tangan Rp11 miliar bisa mereka beli, itu bukan karena mereka kerja lebih rajin dari kita. Itu karena sistem dan akses memungkinkan mereka bermain di angka yang jauh di luar jangkauan kita.
Kita harus menabung puluhan tahun hanya untuk membeli rumah sederhana di pinggiran kota.
Sementara mereka, cukup jual satu mobil koleksi, bisa langsung bel kompleks perumahan sekaligus.
Kita menunggu gajian tiap bulan untuk bayar listrik. Mereka sekali transaksi, bisa langsung beli perusahaan listriknya.
Itulah mengapa jargon “asal kerja keras pasti sukses” seringkali menyesatkan. Kerja keras memang penting, tapi tanpa keadilan akses, kesempatan, dan distribusi kekayaan hasilnya tetap timpang.
Makanya, ini bukan rakyat soal iri. Tapi ini soal kesenjangan yang makin nyata.
Bagaimana mungkin segelintir orang bisa hidup bergelimang kemewahan, sementara banyak rakyat masih rebutan bantuan beras, masih ada yang anaknya putus sekolah karena tak sanggup bayar SPP, bahkan masih ada yang meninggal karena tak bisa bayar biaya rumah sakit.
Ini bukan soal sekedar rakyat kecil yang bodoh, malas, mental pengemis dan kriminil.
Tapi ini tentang ekonomi dan politik kita yang memungkinkan segelintir orang bisa menimbun kekayaan luar biasa, sementara rakyat banyak harus jungkir balik demi sesuap nasi.
(Mama Afifah)







Komentar