Cekrak- Cekrek Upload Wkwkwk

Begitu kira kira sebuah komentar dari netizen pada sebuah unggahan Gubernur Sumut Bobby Nasution pada sebuah unggahan yang bernarasi:Dini hari Gubsu Bobby Nasution evakuasi warga di kawasan yang terdampak banjir cukup parah. Selain membawa warga ke lokasi yang aman Gubsu tampak membawa makanan. Evakuasi dilakukan mulai dini hari hingga sekitar pukul 03.00 wib tersebut berjalan lancar menggunakan kendaraan yang bisa akses banjir. Para warga sementara dievakuasi ke Gedung Bulog.

Apakah para penguasa ini tidak memahami esensi permasalahan sesungguhnya? Pencitraan melulu?

Banjir bandang yang menerjang Sumatera Utara dalam beberapa pekan terakhir bukan hanya akibat hujan yang datang lebih deras dari biasanya. Bumi yang mengamuk ini tidak hadir begitu saja. Banjir yang meluluhlantakkan desa, merendam sawah dan rumah warga, serta merenggut nyawa adalah akumulasi dari kelalaian panjang dalam tata kelola lingkungan dan pembiaran ekspansi perkebunan tanpa analisa dampak ekologis yang matang.

Di tengah bencana yang masih berlangsung publik tersentak oleh pernyataan Presiden Prabowo Subianto. Ia mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu takut dicap melakukan deforestasi karena kelapa sawit adalah pohon yang menyerap karbon. Pernyataan ini memicu polemik sebab menyederhanakan kenyataan ekologis secara berlebihan. Ada fakta yang tidak boleh diabaikan bahwa tidak semua pohon memiliki fungsi yang sama bagi ekosistem.

Hutan tropis di Sumatera bukan sekadar barisan batang yang tegak di tanah. Hutan adalah jaringan kehidupan lengkap dengan akar tunggang yang menembus dalam hingga puluhan meter. Akar itu menyimpan air seperti reservoir alami. Pada musim hujan air ditahan dan dilepas secara perlahan saat kemarau sehingga sungai tidak kering dan dataran rendah terhindar dari banjir besar. Kelapa sawit tidak bekerja dengan cara ini. Akar serabutnya dangkal dan penyerapan airnya terbatas. Sawit menyerap air tetapi tidak memegang peran penting dalam menjaga infiltasi dan penyimpanan air tanah.

Ketika pemerintah pusat menganggap sawit setara dengan hutan reaksi wajar publik adalah khawatir. Di Sumatera hutan primer hilang berganti kebun monokultur. Tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Sungai kehilangan dinding pelindung. Begitu hujan datang air melaju deras ke hilir tanpa penahan. Banjir adalah akibat yang sudah lama diprediksi.

Bencana ini bukan sekadar fenomena cuaca ekstrem. Banjir bandang Sumut adalah konsekuensi dari longgarnya pengawasan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan pada sektor perkebunan. Banyak izin terbit tanpa audit terbuka tanpa pemodelan risiko banjir dan tanpa hitungan keseimbangan ekologis jangka panjang. Pemerintah daerah terlalu sering menandatangani dokumen AMDAL tanpa kajian lapangan yang memadai. Hutan hilang kebun sawit tumbuh izin tetap berjalan dan ketika banjir datang yang dipersalahkan hanya cuaca bukan keputusan yang lahir di meja birokrasi.

Aktivis lingkungan pakar kehutanan dan masyarakat adat sudah lama memberi peringatan. Mereka memetakan hilangnya tutupan hutan mencatat perubahan debit sungai mendokumentasikan konflik antara perusahaan dan petani. Semua data itu nyata tetapi sering kalah oleh narasi ekonomi yang menjadikan sawit pahlawan devisa negara.

Kita tidak perlu memusuhi sawit. Komoditas ini penting bagi petani dan industri. Namun diperlukan kesadaran bahwa sawit bukan hutan dan tidak bisa menjadi alasan untuk mengabaikan fungsi ekosistem pegunungan dan DAS. Pemerintah perlu meninjau ulang AMDAL bergerak dengan data ilmiah melakukan moratorium di kawasan rawan bencana serta memulihkan tutupan hutan yang tersisa. Keselamatan ekologis harus menjadi prioritas bukan catatan kaki dalam dokumen perizinan.

Jika tidak pembantaian air yang melanda Sumut hanya pembuka awal dari rentetan bencana berikutnya. Kita bukan korban alam tetapi korban dari buruknya keputusan manusia.

Komentar