
Membaca Sikap Prabowo Atas Demo
Oleh: Mohamad Burhanudin
Secara garis besar, sikap Presiden Prabowo terkait demonstrasi besar-besaran beberapa hari terakhir mengarah kepada simpulan: Presiden hanya membingkai demo sebagai makar, terorisme, perusakan, dan penjarahan, sambil melemparkan kesalahan pada segelintir anggota DPR. Selesai.
Respons ini jelas mengecewakan publik. Pertanyaannya, mengapa Prabowo memilih sikap itu?
Sejumlah pengamat menilai hal ini karena orang dalam lingkaran terdekat Prabowo tak cukup memberi masukan yang komprehensif dan strategis. Pengamat lain menilai hal tersebut karena Prabowo tak mampu untuk melawan secara frontal tekanan Kelompok Jokowi.
Meski terkesan masuk akal, saya meragukan dua pandangan bernada konspiratif semacam itu. Prabowo adalah pengambil kebijakan utama dengan seperangkat power yang tak dimiliki elite lain di negeri ini, bahkan Jokowi sekalipun. Senaif-naifnya Prabowo, dia tentu menyadari kepentingan politik dan pilihan taktis bagi dirinya sebagai aktor utama politik Indonesia saat ini.
Marilah sejenak kita melihat ke belakang sebelum demo mengalami eskalasi.
🔴Pada awal Agustus 2025, pemerintah menaikkan anggaran DPR dari Rp 6,69 triliun menjadi Rp 9,9 triliun, lonjakan 47,8 persen. Superfantastis.
Padahal, awal tahun 2025 anggaran DPR sudah naik dari Rp 5,9 triliun. Kenaikan ini janggal karena hampir semua kementerian justru dipangkas, termasuk sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan.
Dampaknya, tunjangan anggota DPR meningkat drastis, termasuk tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan.
Pertanyaan kuncinya: mengapa pemerintahan Prabowo, khususnya Kementerian Keuangan, melambungkan anggaran DPR?
Analisis paling masuk akal adalah kebutuhan politik.
Tahun 2025, DPR menetapkan 41 RUU prioritas dalam Prolegnas, di antaranya revisi UU Pangan, UU Kehutanan, KUHAP, Pemerintahan Daerah, hingga RUU TNI dan Polri. Semua penting untuk mengakomodasi program politik pemerintah, kepentingan oligarki, dan menjaga stabilitas dukungan utk kekuasaan.
🔴Bersamaan dengan itu, UU 12/2025 tentang RPJMN 2025-2029 meluncurkan puluhan Proyek Strategis Nasional (PSN) baru: Makan Bergizi Gratis, Food Estate di Kalteng, Papua Selatan, dan Sumsel, pengelolaan Food Estate lewat PT Agrinas, Koperasi Merah Putih, Giant Sea Wall Pantura, perhutanan berbasis masyarakat untuk pangan dan energi (20 juta hektar), hilirisasi sawit dan nikel, pembangunan 3 juta rumah, dan lain-lain. Semua proyek ini membutuhkan payung hukum dari DPR.
PSN menjadi tumpuan program sekaligus instrumen memperkuat lanskap oligarki baru mendistribusikan kue kekuasaan. Pola ini bukan hal baru. Di era Jokowi, proyek-proyek mercusuar seperti Food Estate, IKN, jalan tol, hingga hilirisasi tambang dijalankan dengan logika serupa. Banyak undang-undang disahkan tanpa kajian memadai melalui kongkalikong eksekutif-legislatif, misalnya UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU IKN.
🔴Singkatnya, lonjakan anggaran DPR tidak sekadar soal kesejahteraan anggota, melainkan strategi politik, yaitu mengamankan dukungan legislatif demi melanggengkan proyek-proyek oligarki.
Kembali ke soal kenaikan anggaran Dewan. Kenaikan anggaran Dewan dengan berbagai tunjangan fantastis awalnya sepi dari sorotan buzzer pemerintah. Namun, setelah Prabowo menyinggung hal itu dalam pidato politik di DPR pada 15 Agustus 2025, sorotan publik langsung memuncak. Momen sejumlah anggota DPR bersorak dan berjoget makin memancing kemarahan. Para buzzer pro-pemerintah kemudian mengamplifikasi aksi itu dengan menyoroti sikap tidak pantas anggota DPR, sehingga fokus publik lebih diarahkan untuk mendiskreditkan DPR ketimbang mengurai akar masalah sebenarnya.
Sikap sejumlah anggota DPR memicu kegeraman masyarakat. Seruan demonstrasi pun bergema. Apalagi kemarahan tersebut bersatu dengan akumulasi kekecewaan publik: ketidakadilan yang menahun, maraknya korupsi, arogansi elite dan aparat, hingga beban ekonomi yang kian berat tanpa solusi. Gelombang demonstrasi besar pecah sejak 25 Agustus, dengan puncak pada 28–29 Agustus 2025. Kericuhan berujung pada jatuhnya korban jiwa, termasuk Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, serta warga lain di sejumlah daerah.
Situasi kian panas ketika terjadi penyerangan, perusakan, dan penjarahan rumah anggota DPR, antara lain milik Ahmad Sahroni, Uya Kuya, dan Eko Patrio. Bahkan, rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut menjadi sasaran. Investigasi sejumlah media menemukan, penjarahan dan perusakan itu dilakukan kelompok tak dikenal.
Strategi Framing
Aksi-aksi perusakan dan penjarahan ini memberi dua dampak, yaitu mengecilkan akar masalah gerakan massa hanya pada DPR, khususnya anggota tertentu, serta memberi cap negatif pada demonstrasi.
Hal itu pula yang kemudian menjadi sikap Presiden pada 30-31 Agustus, yaitu membingkai demonstrasi sebagai makar, terorisme, perusakan, dan penjarahan, sambil menyalahkan segelintir anggota DPR. Ada dua makna dari sikap ini.
🔴Pertama, strategi framing untuk mengalihkan isu. Alih-alih menjawab tuntutan substansial, pemerintah memilih narasi keamanan. Framing “makar–terorisme” memberi justifikasi tindakan represif, menekan ruang sipil, dan menutupi isu yang diangkat publik, seperti arogansi aparat, korupsi, ketidakadilan hukum dan ekonomi, serta kenaikan anggaran DPR.
🔴Kedua, menggeser simpati publik. Dengan menonjolkan kerusuhan dan penjarahan, pemerintah membentuk citra demonstran sebagai “perusuh”, bukan warga marah. Taktik klasik ini mendelegitimasi gerakan sosial, membuat publik non-demonstran menjauh. Narasi ini diperkuat amplifikasi buzzer di media sosial yang terus menerus mengekspos kerusakan fasilitas umum.
Siapa yang diuntungkan dari situasi ini?
Pemerintah, khususnya eksekutif, karena bisa menekan kritik, memperkuat legitimasi aparat, serta mempercepat aturan penting untuk konsolidasi kekuasaan dan proyek PSN, dengan dukungan DPR yang sudah mendapat insentif anggaran dan shock therapy.
Kedua, oligarki politik dan bisnis. Proyek strategis seperti hilirisasi nikel, MBG, dan food estate dapat melaju lebih cepat karena oposisi publik dilemahkan. Sementara, DPR tetap aman; meski ada segelintir anggota dikorbankan, kenaikan anggaran 47 persen tetap utuh.
Yang dirugikan jelas masyarakat sipil. Gerakan publik kehilangan momentum karena narasi dikunci pada “penjarahan” dan “makar”. Publik tetap menanggung beban APBN, dampak sosial-ekologis PSN, serta semakin sempitnya ruang demokrasi.
Respons Prabowo juga dapat dibaca sebagai konsolidasi kuasa, yaitu menutup ruang debat substansial, mengorbankan pion kecil, dan menjaga kebijakan besar tetap dalam rel oligarki.
Jika publik berhenti pada kemarahan sesaat, narasi resmi justru akan mempersempit demokrasi.
Karena itu, publik perlu merebut narasi, menjaga fokus pada isu substansial, seperti kenaikan anggaran DPR, proyek PSN, reformasi hukum, dan ketidakadilan ekonomi, serta mengawal secara serius penyusunan UU baru (UU Pangan, Kehutanan, KUHAP, dll), yang rawan berpihak pada oligarki.
Publik juga harus menolak jebakan framing elite dan memperkuat solidaritas lintas kelompok, agar demo menjadi kontrol rakyat atas kekuasaan, bukan sekadar ledakan emosi.
Namun, hal yang terpenting melihat perkembangan sosial politik akhir-akhir ini adalah kemauan pemerintah untuk mau menurunkan ego kekuasaan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa demo besar-besaran jarang lahir tanpa sebab struktural. Faktor ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, korupsi politik, hingga pengabaian aspirasi rakyat selalu menjadi bara di bawah abu.
Saat insiden pemicu muncul, seperti kasus sikap tidak pantas anggota DPR, bara itu menyala jadi api. Namun, jika pemerintah hanya fokus pada “api di permukaan” tanpa memadamkan bara di bawahnya, potensi letupan serupa akan terus berulang.
(Sumber: fb penulis)







Komentar