Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Mencabut kartu liputan setelah wartawan menanyakan masalah keracunan MBG kepada Presiden Prabowo adalah tindakan terkonyol yang dilakukan suatu institusi publik bernama Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden.
Apapun alasannya, dari sudut pandang manapun, tindakan itu keliru total sebab wartawan dimaksud adalah representasi publik dan pertanyaannya pun bersifat publik: manusia keracunan makanan program pemerintah!
Saya berkata kepada beberapa teman wartawan, “Kenapa tidak diboikot balik saja?” Dasar saya memang tidak suka yang namanya briefing wartawan, konferensi pers yang diatur birokrat/pejabat, pertanyaan yang diarah-arahkan, nongkrong/ngepos sekadar menunggu agenda resmi pejabat ke sana-kemari, menyorongkan recorder ke mulut pejabat yang ucapannya normatif dan tidak mutu padahal hidupnya dibiayai APBN….
Tapi hikmah pencabutan identitas liputan Istana itu, menurut saya, adalah CNN Indonesia jadi mempunyai satu tenaga wartawan tambahan untuk meliput fakta-fakta lapangan yang sebenarnya ketimbang nongkrong di Istana menunggu ucapan resmi normatif pejabat—-yang biasanya tidak menarik: meliput semiskin apa kehidupan anak-anak yang keracunan itu, seberbahaya apa bahan baku menu MBG, menanyai para ahli dan praktisi yang tahu betul tentang topik keracunan makanan, mewawancarai auditor independen untuk mendeteksi potensi penyelewengan anggaran MBG, melihat langsung siapa para politisi dan pengusaha di balik berdirinya dapur-dapur MBG….
Penting bagi wartawan untuk tidak larut dalam drama: pejabat BGN (merangkap komisaris Pertamina) yang menangis di depan kamera, omongan yang diulang-ulang bahwa memberi makan anak-anak adalah program yang dilandasi niat baik (pejabat publik urusannya bukan niat baik tapi melaksanakan kewajiban konstitusional sebagai penyelenggara negara untuk menyejahterakan warganya melalui program yang dibiayai oleh APBN yang harus diawasi dan dipertanggungjawabkan), kaset usang yang diputar ulang juga bahwa MBG tidak dimaksudkan untuk cari cuan tapi cari pahala (pahala urusan Tuhan bukan urusan negara)….
Saya pikir kita tidak sedang mengkritik niat baik dan pahala pejabat. Kita sedang mengkritik MBG yang di satu sisi sebagai program pemerintah tapi di sisi lain bisa juga dikatakan sebagai bisnis dengan “modal” APBN yang sangat potensial menjadi ladang cuan sebagian kalangan.
Ingat, dari anggaran Rp15 ribu/porsi MBG, terdapat Rp2.000 (13,3%) yang dialokasikan sebagai insentif (margin keuntungan).
Jika, sesuai aturan, satu dapur MBG produksi 3.000 porsi/hari selama 20 hari per bulan dalam setahun maka tanpa korupsi pun (apalagi dikorupsi) keuntungan yang bisa diperoleh mencapai Rp1,44 miliar/tahun (Rp120 juta/bulan). Artinya, dengan modal investasi Rp2 miliar (tinggal pilih mau modal duit sendiri atau pinjam bank dengan jaminan kontrak pemerintah) untuk membangun satu dapur, bisa balik modal dalam 16-17 bulan.
Return on Investment (ROI) bisnis MBG adalah 72%. Jauh lebih menggiurkan dan minim risiko (program pemerintah, jaminan APBN, captive market) daripada deposito bank (4-5%), obligasi pemerintah (6-7%), properti (5-10%), saham blue chip, UMKM/F&B biasa….
Masuk akal kalau politisi dan relawan banyak yang berebutan punya dapur MBG. Saya diberi tahu ada satu politisi punya tiga dapur MBG dengan skema modal dari pinjaman bank. Setelah dipotong bayar cicilan, tiap bulan dia masih bisa dapat untung Rp150 juta.
Masalah MBG bukan cuma racun makanan tapi juga racun korupsi, racun moral para pejabat dan pelaku usahanya.
Saya pikir jika setiap wartawan yang mempertanyakan racun-racun di balik MBG dicabut identitas/izin liputannya maka jangan heran kalau beberapa waktu ke depan kita akan melihat pejabat-pejabat kesepian yang melakukan konferensi pers tentang ‘kesuksesan’ kinerja MBG di hadapan hewan-hewan di kebun binatang karena binatang tak memiliki nalar untuk kritis bertanya.
Salam,
AEK.







Komentar