BISAKAH DEMOKRASI TANPA PARTAI POLITIK?

BISAKAH DEMOKRASI TANPA PARTAI POLITIK?
Demokrasi Tanpa Partai: Sebuah Keniscayaan?

Oleh: Prof. Hanif Nurcholis

Selama ini kita dicekoki doktrin bahwa demokrasi tidak mungkin tanpa partai politik. Partai dianggap “roh” demokrasi, satu-satunya saluran kehendak rakyat.

Tapi… benarkah demikian?

Faktanya, rakyat tidak pernah membentuk partai politik. Hampir semua partai dibentuk oleh elite—entah itu konglomerat, jenderal pensiunan, mantan pejabat, atau ormas besar. Rakyat hanya jadi objek mobilisasi setiap lima tahun: dijanjikan, dikibuli, lalu dilupakan.

Di desa, demokrasi berjalan tanpa partai. Pemilihan kepala desa berlangsung langsung dan terbuka. Tidak ada bendera partai.

Di Nepal, pada pemilu terakhir, banyak calon independen menang dan bahkan ikut membentuk pemerintahan. Rakyat Nepal muak pada partai poltik. Mereka ingin perwakilan sejati, bukan boneka kartel kekuasaan.

Jean-Jacques Rousseau pernah bilang:
“Begitu rakyat memilih wakil, ia bukan lagi merdeka.”

Kita sudah terlalu lama dijebak dalam demokrasi palsu yang dimonopoli partai politik. Demokrasi disandera oleh oligarki politik. Rakyat hanya jadi angka statistik—dan sasaran “serangan fajar”.

Mengapa kita tidak bisa membayangkan demokrasi tanpa partai?

Mengapa negara mempersulit calon independen, tapi memanjakan partai korup dan membohongi anggota dan pemilihnya?

Mengapa seolah-olah hanya partai yang boleh bicara atas nama rakyat?

Jawabannya jelas: karena partai sudah berubah menjadi kartel, bukan kanal rakyat. Mereka adalah agen oligarki, bukan wakil anggota partai.

Sudah waktunya kita menuntut model demokrasi baru:

Demokrasi berbasis komunitas dan civil society. Komunitas perkotaan, semi perkotaan, perdesaan, dan kesatuan masyarakat adat. Civil society berbasis politik, ekonomi, agama, aktivis, dan NGO.

Kandidat independen yang difasilitasi negara. Dapil diisi oleh calon independen ini berbasis komunitas dan civil society. Bukan dari parpol. Sistemnya distrik saja. Jangan proporsional. Wakil di distrik harus bisa direcall pemilihnya jika ngibuli pemilih atau kinerjanya jeblok. Pemilih berhak melakukan evaluasi kinerjanya secara online. Wakil rakyat harus membuat laporan triwulan kepada pemilih dalam dapil/distriknya secara online dan terbuka.

DPR dirubah menjadi lembaga permusyawaratan warga (citizen assembly). Wakil warga dalam dapil/distrik dan pemilihnya membuat kebijakan yang sama dan sebangun. Jika wakil yang duduk citizen assembly membuat kebijakan bertentangan dengan pemilih di dapil/distriknya pemilih bisa merecall.

Demokrasi digital deliberatif. Teknik pemilihan dan semua kegiatan politik wakil rakyat difasilitasi sistem IT yang terbuka.

Demokrasi tanpa partai bukan ilusi. Tapi keniscayaan.

Kalau demokrasi ingin kembali ke rakyat, partai harus ditundukkan atau digantikan. Demokrasi bukan tentang memilih warna partai. Tapi tentang mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, bukan elite.

Soekarno bilang, “Kuburkan partai-partai politik.”

Ya, kubur saja. Karena parpol hanya organisasi politik penipu rakyat. Elitnya nangkring di DPR, Menteri, lembaga tinggi negara untuk memperkaya diri. Anggota dan pemilihnya hanya dijadikan alat untuk menangkringkan saja.

Komentar