Berapa kali Greta Thunberg membaca Surat At-Taubah?!
Pada Januari 2003, di kota Stockholm, Swedia, penyanyi opera Malena Ernman dan produser/aktor Swedia Svante Thunberg sedang menantikan kelahiran putri pertama mereka, yang diberi nama Greta — yang beberapa tahun kemudian ia terdiagnosis mengidap sindrom Asperger (dalam spektrum autisme), kondisi ini melibatkan kesulitan dalam interaksi dan komunikasi sosial, serta minat yang sangat dalam dan terbatas pada topik tertentu. Individu dengan Asperger umumnya memiliki kecerdasan dan kemampuan bahasa yang baik.
Greta memulai perjalanannya dengan isu iklim sejak dini, antara usia sepuluh sampai lima belas tahun, dan mengubah kecemasannya menjadi aksi mogok sekolah yang perlahan berkembang menjadi gerakan global yang menekan pemerintahan untuk mengurangi emisi karbon dan berhenti mencemari bumi. Ia dengan cepat menjadi ikon dunia yang unik: tenang, tak tergoda oleh ketenaran, tak terpesona lampu-lampu ruang sidang internasional, bahkan saat duduk di antara pemimpin-pemimpin dunia ia memerintahkan apa yang menurutnya perlu diubah pada “sistem” yang merusak darat dan laut.
Greta Thunberg dinobatkan sebagai Tokoh Tahun Ini versi majalah Time pada tahun 2019, menjadikannya orang termuda yang pernah menerima penghargaan tersebut. Usianya saat itu 16 tahun.

Ia bukan tipe tokoh muda berpengaruh yang terlalu mempedulikan hadiah—Greta memahami sesuatu yang tak dipahami oleh banyak kawannya atau mereka yang membayangkan berada di posisinya. Mungkin itu “wawasan Asperger” yang mendorong Greta mengubah banyak hal di dunia yang mereka bentuk; sementara Greta sendiri tak terpengaruh oleh gegap gempita perhatian atau penghargaan—ia bahkan menolak keuntungan finansial dari hadiah-hadiah itu, sambil berkata pada mereka bahwa solusi bukanlah di situ, seakan-akan ia mengejek mereka secara tersirat: “Aku tahu kepalsuanmu, dan aku tak akan memakai obat biusmu.”
Lagu Cairokee mengolok-olok dan mengkritik kemunafikan Barat dan, di hadapannya, Israel:
They save sea turtles. They kill human beings. This’s an issue, and that’s another
(Mereka menyelamatkan kura-kura laut, tapi mereka membunuh manusia).
Namun berbeda dari yang diharapkan, jalan para kura-kura itulah yang membawa Greta kepada kemanusiaan: tidak ada pertentangan di alam antara berbagai keseimbangan — jangan sia-siakan nyawa seekor kura-kura, juga jangan sia-siakan nyawa manusia. Kekeliruan ada pada mereka yang runtuh secara moral, berpura-pura peduli iklim dan kehidupan hewan, sementara mereka menumpahkan 200.000 ton bahan peledak di atas kepala rakyat Gaza, menyisakan jutaan ton reruntuhan dan daging manusia.
Lalu datanglah ujian Gaza, yang menguji amal-amal manusia, dan kita melihat perbedaan antara kehidupan hewan dan makhluk lainnya: sepanjang 20 bulan, Greta tetap tampil—tanpa penundaan seperti beberapa selebriti Arab dan Muslim pada masa itu—menjadi salah satu yang paling vokal membela Gaza di seluruh dunia, menanggung ejekan dari bangsa yang paling tercela dan tidak bermoral di bumi.
Greta tak berhenti di situ; ia ingin melangkah lebih jauh, ke titik paling dekat krisis, yaitu: Gaza!
Allah berfirman dalam Surat At-Taubah ayat 41:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Greta melakukan persis seperti itu—seolah-olah ia menjawab panggilan nuraninya, mengikuti perintah spiritual yang asalnya tak ia ketahui secara intelektual, namun itu alami, fitrah—sibghah Allah, dan siapa yang lebih baik sibghah-Nya daripada Allah?
Greta, wanita “suci” yang tak mungkin Eropa atau Amerika tak menyambutnya dengan kehormatan para tokoh besar—dilemparkan ke sel berpenyakit penuh kutu, matanya ditutup, diborgol, lalu dipaksa, setelah ditarik rambutnya, untuk mencium bendera “Israel” dalam penjara Ktzi’ot yang dijaga ketat di dekat gurun Negev.

Sementara para Syeikh, bangsa Arab, Muslim, Palestina, orang-orang yang lebih dekat dengan persoalan Gaza ini menikamnya di saat kondisi Gaza paling lemah, dalam pergolakan rasa sakit yang menumpahkan lautan darah.
Greta mengindahkan panggilan Tuhan: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat!”
Lalu, apakah umat ini percaya dengan Al-Quran seperti yang diyakini Greta?
(يوسف الدموكي)
https://www.facebook.com/61564547265595/posts/122170495814484908







Komentar