
PENDIDIKAN GIBRAN
Oleh: Ruly Achdiat Santabrata
Kontroversi soal pendidikan Gibran Rakabuming Raka memang sudah menjadi “drama panjang”. Argumen Meilanie Buitenzorgy/MB (baca: https://www.facebook.com/share/p/16QcFm5UWd) sangat tajam—logis, detail, dan langsung mengarah ke celah regulasi seperti Permendikbudristek No. 50/2020.
Saya setuju, ini bukan hanya soal ijazah, tetapi juga integritas proses penyetaraan dan independensi lembaga negara. Berikut analisa dengan perspektif kritis, murni berdasarkan data yang dapat diverifikasi.
A. Riwayat Pendidikan Gibran Secara Singkat (Versi Resmi)
Berdasarkan data KPU (masih dapat diakses di infopemilu.kpu.go.id per September 2025), riwayat pendidikannya sebagai berikut:
a. SD: SDN 16 Mangkubumen Kidul, Solo (1993–1999).
b. SMP: SMPN 1 Surakarta, Solo (1999–2002). Namun, ada inkonsistensi pada website Pemkot Solo sebelumnya, yang menyebutkan Gibran melanjutkan pendidikan ke Singapura saat SMP—hal ini memunculkan keraguan apakah ia benar-benar lulus dari SMPN 1.
c. SMA (setara, tidak persis sama dengan pendidikan menengah di Indonesia)
- Orchid Park Secondary School (OPSS), Singapura (2002–2004). Sekolah negeri di Yishun, fokus pada seni visual dan kepemimpinan. Setara dengan SMP + kelas 1 SMA di Indonesia (GCE O/N-Level). Gibran memperoleh sertifikat O/N-Level, yang diakui sebagai “high school equivalent” dasar untuk melanjutkan studi.
- UTS Insearch, Sydney, Australia (2004–2007). Program foundation/bridging pra-universitas selama 3 tahun (setara D1 pra-universitas), bukan SMA penuh. Kemendikbud menyetarakan ini sebagai SMK kelas XII, tetapi, seperti yang disebutkan MB, hal ini debatable karena bukan dari institusi high school resmi.
d. S1: Management Development Institute of Singapore (MDIS) dengan afiliasi University of Bradford, gelar Bachelor of Science (Marketing), 2007–2010. Disetarakan sebagai S1 oleh Kemendikbud (SK No. 2296/Belmawa/Kep/IJLN/2019).
Total masa “SMA” Gibran adalah 5 tahun di dua negara—berbeda dengan standar Indonesia (3 tahun). KPU menerima ini sebagai syarat minimal “tamat SMA/sederajat” berdasarkan UU Pemilu No. 7/2017 Pasal 169 huruf r.
B. Penyetaraan Ijazah SMA Luar Negeri
Tulisan MB mengacu pada Permendikbudristek No. 50/2020, yang menyatakan bahwa penyetaraan ijazah luar negeri untuk pendidikan dasar/menengah hanya berlaku untuk “school leaving certificate” resmi dari institusi setara SMA/SMK, seperti:
a. High school diploma/certificate dari Australia (Year 12 HSC/VCE).
b. IB Diploma untuk sekolah internasional.
c. GCE A-Level dari Singapura atau Inggris (untuk SMA lengkap).
- UTS Insearch?
Ini bukan high school. Berdasarkan situs resmi UTS College, Insearch adalah program diploma foundation (setara D1 atau bridging) untuk siswa internasional yang memerlukan persiapan masuk UTS. Program ini tidak mengeluarkan “leaving certificate” SMA, melainkan Diploma of Business/IT/Communication yang bersifat vokasi pra-universitas. Penyetaraan Kemendikbud pada 2019 menyebut ini setara SMK kelas XII, tetapi, seperti yang disebutkan MB, ini melanggar aturan penyetaraan SMA karena bukan dari high school resmi. Jika penyetaraan ini batal demi hukum, maka Gibran tidak memiliki ijazah SMA Australia yang valid. - Orchid Park Secondary School?
OPSS adalah secondary school di Singapura (setara kelas 7–10 Indonesia, atau SMP + kelas 1 SMA). Siswa di sana mengikuti ujian GCE N-Level atau O-Level sebagai “leaving certificate” setelah 4 tahun. Ini setara SMP + sebagian SMA awal, bukan SMA lengkap. Untuk masuk universitas di Singapura (atau setara), siswa harus melanjutkan ke Junior College untuk GCE A-Level (2 tahun lagi). Jika Gibran hanya sampai O/N-Level (2002–2004), ini belum memenuhi standar SMA Indonesia. Selain itu, seperti disebutkan MB, GCE tidak mensyaratkan kelulusan semua mata pelajaran dengan nilai minimum—sertifikat tetap diberikan meski nilai di beberapa subjek di bawah 50%, berbeda dengan ijazah Indonesia yang mengharuskan lulus semua mata pelajaran.
Kemendikbudristek tampak “fleksibel” dalam kasus elite. Jika regulasi ditegakkan secara ketat, Gibran hanya memiliki fondasi setara SMP (jika OPSS diakui setara SMP + kelas 1 SMA). Namun, tanpa ijazah SMPN 1 Solo yang jelas (karena klaim melanjutkan ke Singapura saat SMP), kredibilitas KPU dan Kemendikbud menurun.
C. Kenapa Bisa Masuk MDIS?
MDIS adalah institusi swasta tertua di Singapura (sejak 1956), berfokus pada program kerja sama dengan universitas asing seperti University of Bradford (hingga 2017). Untuk program S1 seperti BSc Marketing (top-up degree via Bradford), syarat masuk bagi siswa internasional dari Singapura/Australia biasanya:
a. Minimum: Sertifikat secondary school seperti GCE O-Level (minimal 4 subjek dengan nilai C/50% atau lebih) atau setara (misalnya, foundation dari Insearch).
b. Pathway Alternatif: Jika tidak memiliki A-Level (SMA lengkap), calon mahasiswa bisa melalui diploma/foundation program (seperti Insearch yang setara Year 12 Australia). Ini umum untuk siswa dengan “gap” pendidikan, dan MDIS dikenal menerima siswa dengan latar belakang beragam, termasuk yang hanya lulus secondary school Singapura tanpa A-Level.
c. Durasi: Programnya 2–3 tahun (Gibran 3 tahun) sebagai “top-up” setelah foundation. Ini bukan S1 penuh 4 tahun, tetapi diakui sebagai bachelor’s degree karena afiliasi dengan Bradford.
Berdasarkan klarifikasi MDIS (November 2023), Gibran memenuhi syarat ini: Sertifikat OPSS (O/N-Level) + Insearch dianggap cukup sebagai prasyarat. Tidak ada keharusan ijazah SMA Indonesia atau A-Level penuh—cukup bukti secondary completion + pathway program. Ini standar untuk kampus swasta seperti MDIS, yang lebih “akomodatif”. Kalau mau masuk universitas negeri di Singapura seperti NTU atau NUS, tidak bisa begitu.
D. Kontroversi: Apakah Ini “Syarat Bertahap” yang Sah?
Ini poin krusial dari argumen MB. Di Indonesia, penyetaraan S1 mensyaratkan rantai pendidikan bertahap (SD-SMP-SMA-S1) sesuai Permendikbud No. 50/2020 dan aturan Kemendikbudristek. Masalahnya:
a. Fondasi SMA Rapuh: OPSS hanya setara SMP + kelas 1 SMA, dan Insearch adalah program bridging (bukan leaving certificate SMA). Tanpa A-Level atau IB, ini seperti “melewatkan” SMA penuh.
b. Penyetaraan MDIS Valid, Tetapi ….: Kemendikbud menyatakan ijazah Bradford via MDIS sah sebagai S1 (November 2023). Namun, ini merupakan celah: Gibran bisa masuk dan lulus S1 di MDIS karena program tersebut dirancang fleksibel untuk siswa internasional seperti dia, yang latar belakang pendidikannya dari OPSS dan Insearch sebagai “booster”.
Jika fondasi SMA-nya bermasalah, penyetaraan S1-nya juga dapat dipertanyakan.
E. Penutup
Jika Gibran bekerja di sektor swasta, isu ini tidak akan rumit. Di perusahaan swasta (dalam/luar negeri), kualifikasi pendidikan sering kali tidak ketat. Mereka lebih menilai pengalaman, referensi, atau keterampilan praktis ketimbang ijazah. Gelar BSc Marketing dari MDIS cukup untuk branding wirausaha, meskipun fondasinya bermasalah. Banyak CEO global hanya lulusan diploma atau bahkan dropout (contoh: Bill Gates, Steve Jobs), tetapi tetap sukses karena keterampilan, bukan ijazah.
Namun, UU Pemilu No. 7/2017 Pasal 169 huruf r mensyaratkan capres/cawapres minimal tamat SMA/sederajat. KPU menyatakan Gibran lolos karena dokumen dari OPSS (Singapura) dan UTS Insearch (Australia) disetarakan sebagai SMA/SMK, ditambah S1 dari MDIS. Akan tetapi, seperti analisis di atas, penyetaraan ini rapuh: OPSS hanya setara SMP + kelas 1 SMA, Insearch bukan high school, dan S1 MDIS dipertanyakan karena fondasi SMA-nya tidak jelas.
Sebagai pejabat publik, pendidikan formal bukan hanya soal kompetensi, tetapi juga simbol integritas dan kepatuhan hukum. Apalagi sebagai Wakil Presiden, Gibran harus mematuhi regulasi (Permendikbudristek No. 50/2020 tentang penyetaraan) dan membuktikan kualifikasi melalui dokumen yang transparan.
Intinya, pendidikan Gibran ibarat puzzle dengan potongan yang tidak pas dan tidak mulus. Bahkan dua lembaga negara, KPU dan Setneg, tampak bingung.







Komentar