BELAJAR DARI YAHUDI, SALAH?

Oleh Ayik Heriansyah
(Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat)

Pernyataan bahwa Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, belajar hak asasi manusia dari akademikus Peter Berkowitz telah memicu pertanyaan kritis dan kegelisahan publik. Belakangan diketahui ternyata Peter Berkowitz adalah seorang zionis tulen.

Zionisme sebagai ideologi politik yang dijalankan oleh negara Israel telah lama dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat terhadap rakyat Palestina, mulai dari pengusiran paksa, blokade wilayah, hingga serangan bersenjata terhadap warga sipil.

Dalam konteks ini, belajar tentang hak asasi manusia dari tokoh yang mendukung Zionisme tampak paradoksal, bahkan kontradiktif. Bagaimana mungkin nilai-nilai universal seperti keadilan dan perlindungan terhadap yang lemah dipelajari dari pihak yang dituduh melanggarnya secara sistemik?

Gus Yahya sendiri menyatakan bahwa ketertarikannya pada Peter Berkowitz bersifat akademik, bukan ideologis. Ia ingin mendalami pemikiran tentang HAM, bukan mendukung agenda politik Zionisme.

Hanya saja dalam situasi yang sangat sensitif seperti penjajahan Israel atas Palestina, pemisahan antara gagasan dan identitas politik narasumber tidak selalu bisa diterima publik secara utuh. Di sinilah terjadi benturan motif akademik dengan moralitas dan solidaritas umat.

Menariknya, dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad ﷺ pernah memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani. “Pelajarilah tulisan orang Yahudi, karena aku tidak percaya kepada mereka dalam hal surat-surat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Tujuannya bukan untuk meniru ideologi atau budaya mereka, tetapi agar Zaid bisa memahami surat-surat dari orang Yahudi dan membalasnya dengan akurat. Zaid pun menjadi juru tulis Rasulullah dalam urusan diplomatik dan intelijen.

Dari sini, kita belajar bahwa interaksi intelektual dengan pihak luar bukanlah hal yang tabu. Bahkan dengan kelompok yang berseberangan secara teologis dan politis, Nabi tetap membuka ruang belajar, namun dengan syarat dilakukan atas mandat, untuk kepentingan umat, dan dengan pengawasan penuh.

Dalam konteks Indonesia yang sangat pro-Palestina, memilih narasumber yang punya rekam jejak mendukung Zionisme adalah langkah yang rawan disalahpahami. Menunjukkan kurangnya sensitivitas politik.

Memberi panggung kepada tokoh pro-Zionis, meski dalam forum akademik, bisa dianggap sebagai bentuk pengakuan terhadap ideologi yang menindas. Sebagai bentuk legitimasi tidak langsung. Dan belajar HAM dari pendukung Zionisme bisa mengaburkan batas antara teori dan praktik, antara nilai dan pelanggaran yang berujung pada terjadi konflik nilai.

Dialog lintas pemikiran memang penting, dan belajar dari “lawan ideologis” bisa menjadi kekuatan jika dilakukan dengan niat yang jelas, pengawasan yang ketat, dan tujuan yang strategis. Tapi dalam isu Palestina, bukan hanya substansi yang penting, simbol dan solidaritas juga menentukan.

NU sebagai benteng moral umat Islam harus menjaga kehati-hatian dalam memilih mitra dialog. Jika tidak, niat baik bisa berubah menjadi kesalahpahaman publik, dan solidaritas terhadap Palestina ternodai.

Belajar dari Zaid bin Tsabit, kita tahu bahwa interaksi dengan pihak luar harus dijalankan dengan panduan moral yang ketat, bukan sekadar rasa ingin tahu akademik. Dalam dunia Islam yang penuh luka dan ketidakadilan, setiap langkah harus memperkuat perjuangan, bukan mengaburkan arah.

Komentar