Begini kondisi terakhir Satria Kumbara, eks marinir TNI Angkatan Laut yang disersi alias mangkir dari tugas ketentaraan, kemudian dipecat, dan memilih hengkang ke luar negeri menjadi tentara bayaran Rusia, dapat job di garda depan perang melawan Ukraina.
Awalnya Satria enjoy aja, sering live streaming. Bahkan ia sempat ngenyekin Indonesia sebagai negeri Konoha, di mana nasibnya sebagai pencari nafkah dengan menjadi tentara bayaran dianggapnya gak seberuntung koruptor yang aman-aman saja di negeri sendiri.
Satria kini terluka parah. Terkena hujanan mortir, yang pecahan-pecahannya kena di kepala. Ia juga dikepung drone kamikaze punya Ukraina. Posisi terjepit. Video ini dikirim sendiri olehnya tiga hari yang lalu via WA kepada temannya sesama eksTNI, Ruslan Buton.
Setelah itu kata Ruslan Buton, Satria mengaku sedang menunggu dievakuasi, lalu gelap, WA balasan Ruslan sudah gak bisa terkirim, lost contact. Ruslan pun sudah gak tau gimana keadaan karibnya tersebut.
Qadarullah, semua sudah terlanjur. Status Satria sebagai WNI secara hukum otomatis sudah dicabut. Mau minta dipulangkan ke sini pun gak bisa, apalagi kontraknya dengan Rusia gak semudah itu dibatalkan. Jalan satu-satunya kecuali Presiden Prabowo sendiri yang langsung menghadap ke Vladimir Putin. Suatu hal yang rada mustahil.
Aksi Satria ini bisa saja dianggap heroik, andai orang gak tau latar belakangnya dan hanya tau ia melakukan demi nafkah.
Padahal dari beberapa sumber valid, konon Satria memilih jadi tentara bayaran Rusia karena iming-iming gaji tinggi untuk menutupi hutang pinjol yang mencapai ratusan juta. Wallahualam.
Ngomongin soal eks tentara yang secara kasat mata hidup mapan tapi kok memilih resign dan cari nafkah serabutan, saya sebenarnya gak excited-excited banget. Sejak kecil kami sudah dekat dengan situasi seperti ini.
Ayah saya eks TNI Angkatan Darat berpangkat letnan. Lahir tahun 1924, andai sekarang masih hidup usianya sudah lebih 100 tahun.
Ayah mengenyam banyak pengalaman pertempuran. Dari perang Surabaya, Jogja, Perang Bali, penumpasan PKI, perburuan Kahar Mudzakar, Permesta, dan lain-lain. Perangnya itu bukan head to head di area terbuka seperti Call of Duty. Tapi perang gerilya keluar masuk hutan yang butuh banyak taktik dan strategi bertahan hidup. Beberapa kali terluka kena peluru.
Persamaan dengan Satria ini, ayah memilih resign dari TNI. Tapi dulu namanya bukan disersi. Berhenti atas permintaan sendiri, karena suatu prinsip yang enggan dibahasnya hingga wafat. Sayangnya, setelah itu gaji gak dapat lagi. Saya juga gak ngerti gimana mekanisme militer jaman dulu.
Pernah dengar dari ibu kalo ayah kecewa dan merasa gak dihargai oleh kesatuan. Berkali-kali mengirim surat ke Istana Negara, gak ada balasan. Yaudahlah, gak ngarep lagi. Hari-hari tuanya pun dihabiskan dengan kerja serabutan.
Kalo Satria jadi tentara bayaran, ayah saya jadi nahkoda kapal bayaran. Tawaran kerja di luar pasti ada. Tapi ayah memilih stay di sini, kadang ikut proyek di perusahaan, pernah juga jadi imam kampung.
Meski merasa dikecewakan negara, nasionalisme-nya gak perlu ditanya. Saya ingat betul, sampai menjelang ajal, ia sendiri yang terseok-seok menancapkan bambu dan masang bendera di pekarangan rumah tiap masuk Agustus.
Inti tulisan sebenarnya lebih ke kesyukuran. Gak ada yang salah dengan hashtag kaburajadulu yang pernah viral. Kalo ada skill yang memadai, emang baiknya mengadu nasib dengan tantangan kerja di luar.
Tapi selama negeri sendiri masih aman sentosa dan ada peluang nafkah, jangan maksa. Ngapain nyusahin diri jadi tentara bayaran, atau kucing-kucingan di Kamboja dengan risiko human trafficking.
Indonesia insyaallah lebih menjanjikan, yang penting mau bersabar.
Jadi ojol aja, kalo sabar, bisa jadi Wamen
(✍️Arham Rasyid)
*sumber: fb






Komentar