Beda Peran, Beda Tugas

๐๐ž๐๐š ๐๐ž๐ซ๐š๐ง, ๐๐ž๐๐š ๐“๐ฎ๐ ๐š๐ฌ

โœ๐ŸปArsyad Syahrial

Membaca postingan terlampir ini sungguh itu adalah bentuk logika serampangan yang didasari oleh kebodohan prosedural yang hanya dilontarkan oleh orang berร qal lemah yang malas berpikir.

Iya, bagaimana tidak?

TNI dan PolRI itu memang punya mandat struktural: mereka adalah Aparat Negara yang digaji oleh Negara. Mereka memiliki komando, perlengkapan, serta kewajiban formal untuk turun ketika bencana terjadi. Ketika mereka turun dalam SAR dan mitigasi bencana, maka itu adalah tugas kedinasan, bukan aksi moral tambahan. Mereka menjalankan apa yang memang sudah menjadi kontrak profesionalnya โ€” bukan kemurahan hati ekstra, apalagi layak dijadikan bahan propaganda politik.

Adapun membandingkan peran terstruktur aparat dengan mahasiswa yang tidak punya sumber daya, tidak punya pelatihan SAR, dan bahkan tidak punya kewajiban formal, jelas tidak logis dan tidak setara.

Mahasiswa turun ke jalan adalah bagian dari fungsi sosial mereka sebagai civil society, bukan unit SAR. Mereka mengawasi kekuasaan, mengkritik kebijakan, dan menjaga ruang demokrasi โ€” peran yang dalam sejarah justru sering menolong bangsa mencegah kerusakan yang lebih besar. Kalau tidak ada mahasiswa, banyak rezim sudah kelewat batas jauh sebelum rakyat sadar apa yang sedang terjadi.

Sedangkan menuntut mahasiswa “ikut turun bantu bencana” sebagai syarat sahnya aksi mereka adalah salah kaprah dan bukti kelemahan ร qal. Orang Barat punya perkataan, “it takes every kind of people to make this world go round”. Setiap kelompok itu punya peran yang berbeda. Hanya orang yang lemah ร qal berpikiran dangkal yang tidak mampu membedakan fungsi sosial satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Saat bencana, kontribusi masyarakat tentu luas dan bermacam-macam โ€” donasi, logistik, relawan, kampanye informasi, dan sebagainya. Sebenarnya kalau sering turun ke lapangan, maka pasti tahu kalau mahasiswa sering terlibat dalam membantu korban bencana alam tanpa perlu mempublikasikan diri seperti Menteri yang sok-sokan angkut karung beras 5kg seakan jadi Umar bin Khothob.

Framming bodoh “kalau bisa demo, harusnya bisa begini-begitu” macam ini adalah teknik propaganda “whataboutism” yang kerap digunakan untuk mendeligitimasi gerakan mahasiswa. Itu adalah cara halus untuk mendegradasi dan meremehkan kritik publik, mengalihkan pembicaraan dari substansi perjuangan mereka. Ujung-ujungnya adalah supaya mahasiswa diam, tunduk, dan berhenti mengusik kenyamanan rezim yang berkuasa.

Kalau tidak mampu berpikir jernih, minimal jangan mempermalukan diri sendiri di ruang publik lah.

Demikian.

Komentar