SOMBONG TAPI TAK PUNYA KEMAMPUAN
Oleh: Ahmad Khozinudin, SH
Pemerintah Kota (Pemkot) Medan secara resmi mengembalikan paket bantuan kemanusiaan dari Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) yang sebelumnya telah diterima untuk penanganan bencana. Langkah ini diambil untuk menyelaraskan kebijakan daerah dengan regulasi Pemerintah Pusat terkait penerimaan bantuan asing.
Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas, menegaskan, keputusan pengembalian ini dilakukan setelah pihaknya berkoordinasi secara intensif dengan kementerian terkait dan lembaga penanggulangan bencana nasional. Ini tidak lepas dari keengganan (baca: kesombongan) Prabowo Subianto yang tak kunjung menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional dan menutup pintu bantuan kemanusiaan dunia internasional.
Implikasi tidak kunjung ditetapkannya bencana Sumatera sebagai bencana nasional menyebabkan konsolidasi dan mobilitas penanganan bencana baik secara SDM, anggaran hingga sarana dan prasarana tidak bisa maksimal. Kehadiran Negara tidak ‘Full Power’, bahkan terkesan sekedarnya dan ala kadarnya.
Menutup bantuan internasional, makin menutup celah bantuan bagi korban yang boleh jadi tidak terjangkau oleh pemerintah namun dapat diakses oleh Relawan internasional. Itu artinya, potensi penanganan bencana yang lebih maksimal, lebih cepat tanggap dan akurat menjadi terbengkalai.
Sebenarnya boleh saja, menolak bantuan internasional asalkan pemerintah mampu. Itu artinya kesombongan untuk menolak bantuan selaras dengan kemampuan dan kapasitas pemerintah yang dapat menangani bencana secara mandiri.
Sayangnya kinerja pemerintahan Prabowo dapat dikategorikan ‘sudah tak becus, sombong pula’. Hal mana terbukti dari banyaknya korban bencana yang jangankan dapat terakses oleh listrik, untuk makan saja mereka kesulitan.
Jurnalis CNN dalam reportasenya, dengan menangis terisak mengabarkan betapa kondisi korban sangat memprihatinkan. Mereka kelaparan dan sangat bergantung pada bantuan relawan untuk mempertahankan hidup. Pasca bencana banjir, rakyat terancam bencana kelaparan.
Ada yang menduga, kekhawatiran penetapan bencana nasional berdampak pada audit penyebab banjir bandang. Dan siapapun paham, sebabnya adalah deforestasi.
Penyebab deforestasi selain karena adanya HPH, juga karena konversi lahan hutan menjadi industri sawit. Itulah, yang menyebabkan penggundulan hutan dilakukan secara brutal dan gila gilaan.
Jika itu terjadi, maka oligarki sawit akan kelabakan. Disinyalir, di Aceh Prabowo juga punya lahan sawit. Apakah itu yang menjadi sebab keengganan Prabowo menetapkan bencana banjir Sumatera sebagai bencana nasional dan masih sombong menolak bantuan internasional?
Seluruh bencana yang dialami rakyat Sumatera dapat dipastikan akibat bencana politik pemerintah dalam mengelola kebijakan terkait alam dan hutan. Izin ugal ugalan untuk industri sawit dan berbagai konsesi tambang adalah pangkal masalahnya.
Dan bencana berikutnya, banyaknya korban yang kelaparan akibat bencana, tidak bisa disalahkan semata karena faktor alam. Itu juga disebabkan kebijakan pemerintah, yang tidak punya kemampuan tapi sombong menolak bantuan. (*)







Komentar