Bencana banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara kembali memunculkan sorotan soal kerusakan lingkungan. Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi, menilai bahwa faktor terbesar pemicu bencana tersebut adalah rusaknya hutan serta melemahnya fungsi kawasan penyangga yang selama ini menjadi pelindung kawasan aliran sungai.
Menurutnya, dua nama yang patut dimintai tanggung jawab atas kondisi ini adalah Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, serta Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni. Keduanya dinilai memiliki kewenangan langsung atas pengelolaan hutan dan tata kelola lingkungan, namun dianggap gagal melakukan pengawasan serta pencegahan.
Muslim menyinggung temuan Walhi Sumut yang sebelumnya mengungkap adanya kerusakan hutan penyangga di sekitar daerah terdampak, termasuk dugaan pembukaan lahan oleh perusahaan besar seperti PT Toba Pulp Lestari yang bergerak di industri bubur kertas di Tapanuli. Pembukaan lahan besar-besaran, menurutnya, memperlemah daya serap tanah dan menyebabkan debit air hujan tak mampu tertahan.
“Banjir ini bukan terjadi begitu saja. Kerusakan hutan telah lama terjadi dan pemerintah daerah maupun pusat seolah menutup mata,” ucap Muslim, Minggu 30 November 2025.
Ia menilai dua pejabat tersebut lalai dalam menjalankan tanggung jawab mereka, sehingga kerusakan hutan semakin meluas dan akhirnya menimbulkan derita bagi ribuan masyarakat. Muslim menegaskan bahwa korban banjir saat ini merupakan bukti nyata bahwa ekosistem penyangga sudah tidak lagi berfungsi optimal.
“Rakyat menjadi korban dari kerusakan yang semestinya bisa dicegah. Mereka yang punya kewenangan sudah seharusnya bertanggung jawab,” tegasnya.
Desakan agar pemerintah mengusut tuntas penyebab banjir semakin menguat, termasuk permintaan agar Menteri Kehutanan menelusuri keberadaan kayu gelondongan yang ditemukan hanyut saat banjir. Publik menilai temuan itu sebagai petunjuk bahwa eksplorasi hutan di wilayah Sumatera masih sangat masif.







Komentar