BANJIR BALI, Inilah Sumber Masalahnya

Oleh: Made Supriatma

Banjir Bandang di Bali Selatan. Hujan lebat telah membuat air mengamuk di wilayah selatan Bali. Pulau kecil ini mendadak menyaksikan kekuatan air di jalan-jalannya. Di Denpasar, dari beberapa video yang saya tonton, bangunan-bangunan bertingkat roboh. Banyak benda yang hanyut. Sembilan orang tewas dalam banjir ini.

Media sosial saya penuh dengan berita dan gambar banjir. Sepanjang hari kemarin orang sibuk mengecek sanak saudara dan teman-temannya untuk memastikan semua selamat. Sudah jelas kesedihan meruap. Hampir semua wilayah Bali Selatan, khususnya di Tabanan, Badung (Denpasar), dan Gianyar tersapu banjir.

Narasi besar yang dibangun adalah: ini bencana alam.

Gubernur I Wayan Koster (PDIP) menyalahkan curah hujan yang sangat tinggi sebagai penyebab banjir. Tentu saja itu argumen yang sangat dangkal. Tentu saja banjir disebabkan oleh air yang volumenya lebih besar dari biasa. Apa yang istimewa dari penjelasan itu?

Manusia sudah mengalami banjir sepanjang peradabannya. Karena itulah umat manusia memikirkan untuk mengendalikannya. Mereka membuat kanal-kanal. Mereka sebisa mungkin mencegah penyumbatan dari sampah atau tanaman liar. Mereka rutin membersihkannya.

Tidak lupa pula, mereka menjamin ketersediaan air ketika kemarau. Memastikan bahwa tumbuhan, hewan, dan mereka sendiri memiliki cukup air untuk tumbuh dan hidup.

Banjir besar ini katanya banjir yang terjadi beberapa dekade sekali. Itulah pangkal kelalaian. Masyarakat dan bangsa yang beradab mempersiapkan apa yang terjadi bahkan satu generasi sebelumnya. Manusia yang benar membuat sistem yang mengamankan dirinya. Bukan membiarkan dirinya terlibas oleh bencana. Air adalah milik bersama, dikelola bersama, dan digunakan untuk manfaat bersama.

Jika kita berpikir dengan cara ini, kita tahu bahwa sulit memisahkan antara banjir ini dengan hidup bersama. Tidak ada yang mengatur hidup bersama secara lebih ketat ketimbang pemerintah.

Kita para rakyat ini membeayai pemerintahan ini. Kita memilihnya. Kita pula yang menuntut pertanggungjawabannya. Apakah pemerintah bisa lepas dari tanggungjawabnya setelah banjir ini? Bukankah pekerjaan utama meraka adalah mengamankan semua warga, yang memberi mereka makan, kemewahan, dan semua fasilitas yang di atas rata-rata orang kebanyakan?

Beberapa hari lalu, saya melihat video dari seorang influencer keturunan bule yang ada di Bali. Video itu mengunggah upacara adat — bade untuk ngaben. Komentarnya kira-kira berbunyi, orang Bali tidak demo. Orang Bali senang ber-adat.

Narasi “orang Bali manuh (jinak)”, tidak pernah mengeluh, selalu tersenyum walaupun hidup sulit itu terus menerus dikipasi. Catatan beberapa intelektual Bali seperti antropolog Degung Santikarma menunjukkan bahwa inilah sumber dari masalahnya.

Waspadalah ketika para elit dan orang-orang kenyang (jlema mebasang betek!) mengatakan bahwa Anda ‘ramah-tamah, santun, sopan, berbudaya tinggi,’ yang harus dijunjung dan dipelihara. Itu artinya, para penguasa ini mengharapkan Anda berlaku demikian. Tidak ada cara penjinakan lebih baik daripada lewat pembudayaan sopan santun kelewat batas sehingga tidak bisa mengkritik dan menuntut.

Itulah persis yang terjadi di Bali. Para elit bebas dari kritik dan dari tuntutan tanggungjawab. Mereka bebas memilih memberikan apa kepada siapa — sepanjang itu menguntungkan mereka. Ini tidak saja terjadi pada politisi. Tetapi juga pada elit-elit di Bali — pada para expats; budayawan; kaum intelektual (termasuk dosen dan mereka yang seharusnya menjadi intelektual publik).

Tidak ada yang lebih sinis dari melihat uang yang ditaruh didulang sebagai bantuan dari politisi. Ia dihiasi dengan berbagai macam insignia budaya dan religi. Ia menjadi keramat — dan bagian dari upacara. Dan, uang itu bukan uangnya para politisi atau elit-elit penguasa di Bali. Itu uang bersama — para pedagang canang, tukang parkir, pemijat di pantai, dan lain sebagainya.

Sumber dari bencana di Bali adalah justru dirinya sendiri. Penjejalan terus menerus pikiran bahwa “orang Bali manuh,” ramah dan berbudaya. Narasi “orang Bali tidak suka politik,” itu sendiri adalah politik penguasa. Politiknya orang-orang partai, oligarki lokal, bersama preman-premannya yang berkuasa di Bali saat ini.

Kemana politik radikal di Bali, yang pernah muncul saat revolusi dan sebelum 1965? Ia dikubur dengan kebudayaan tinggi, senyum dan keramahtamahan yang bernama pariwisata. Inilah dunia dimana yang kuat menjadi “pejuang” (juang = ambil). Mengambil apa yang bisa diambil.

Hidup sosial dan politik di Bali sangat brutal. Premanisme dimana-mana. Politisi berkuasa karena preman. Dan ketika berkuasa mereka menjadi ber-adat.

Bali manuh (jinak). Akibatnya, bahkan mengendalikan sampah dan air saja, para elit ini tidak mampu. Yang lebih menyedihkan dan tragis adalah: Tidak ada yang mau minta pertanggungjawaban. Kalau rakyat susah, tanggung sendiri. Kalau elit senang, mereka menikmatinya sendiri juga.

Bali sedang membunuh dirinya sendiri. Mengalami gangguan mental karena tidak mampu menghadapi dirinya sendiri. Itulah sebabnya penderita gangguan mental terbesar di Indonesia ada di Bali.

Masih belum paham?

(sumber: fb penulis)

Komentar