BENCANA BANJIR PASTI AZAB?
✍🏻Arsyad Syahrial
Beredar tulisan-tulisan yang dapat diduga berasal dari kalangan PENDAKU Salafiyy yang mengatakan bahwa bencana yang terjadi di Nanggroe Atjeh adalah akibat dari “dosa maksiyat” rakyat Atjeh karena banyak menghasilkan narkoba, dan “dosa memberontak” karena mengibarkan bendera GAM.
Sungguh ini sangat fatal kesalahannya, baik secara IPTek maupun secara theologi.
Bagaimana tidak❓
Berani memastikan bahwa bencana tersebut adalah “àżāb akibat dosa maksiyaat dan memberontak” adalah klaim yang sangat berbahaya dan dilarang dalam agama karena beberapa alasan logis.
Pertama, mana dalīl khususnya?
Di dalam theologi Islām (dan agama-agama samāwiyy lainnya), kita ketahui kaum Ȁd, kaum Ṫamūd, kaum Lūṭ, dan penduduk Madyan itu diàżāb oleh Allōh ﷻ karena adanya waḥyu (dalīl) nash yang menyatakannya secara eksplisit.
Maka apakah para PENDAKU Salafiyy itu menerima waḥyu baru yang mengatakan “Atjeh diàżāb karena ganja dan bendera GAM”?
Maka pastinya tidak, sehingga dapat dipastikan bahwa para PENDAKU Salafiyy itu sedang berdusta atas nama Allōh ﷻ dengan mengklaim mengetahui alasan spesifik Robbul-Ȁlamīn menurunkan bencana.
Perbuatan mengatakan sesuatu tanpa sandaran dalīl adalah bentuk kesombongan, sebab sombong karena merasa setara dengan Robbul-Ȁlamīn dalam mengetahui hal ġoib…!
Tetapi bukankah Ḳolīfah Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb رضي اللـه تعالى عبه ketika terjadi gempa di Madīnah mengatakan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَا كَانَتْ هَذِهِ الزَّلْزَلَةُ إِلاَّ عَنْ شَيْءٍ أَحْدَثْتُمُوهُ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَئِنْ عَادَتْ لاَ أُسَاكِنُكُمْ فِيهَا أَبَدًا
“Wahai penduduk Madīnah, alangkah cepatnya kalian berbuat dosa! Apabila gempa ini terulang lagi, sungguh aku takkan tinggal bersama kalian di sini selamanya!” [Aṫar Riwayat Aḥmad no 10305; Ibnu Abī Ṡaibah, al-Muṣonnaf no 12335; Ibn Àsākir, Tārīḳ Madīnati XLIV/ 265].
Maka kalau diperhatikan redaksi bahasanya, maka itu BUKAN dakwaan bahwa penduduk Madīnah telah pasti berbuat ma`ṣiyah dan pelanggaran berat, akan tetapi lebih kepada bentuk peringatan agar memperbaiki ketaqwaan kepada Allōh ﷻ.
Kedua, bencana di dalam Islam bukan suatu kepastian (vonis) bahwa telah melakukan dosa kemaksiyatan.
Sebab jika bencana dan penderitaan adalah tolak ukur kemurkaan Allōh ﷻ, maka bagaimana dengan rakyat Palestina yang saat ini jelas sangat menderita karena mereka dibom, kelaparan, dan menderita keẓōliman selama puluhan tahun? Apakah berani mengatakan Palestina diàżāb karena mereka pendosa?
Sebaliknya, koloni pemukim illegal Yahūdiyy-Zionist yang menjajah justru malah makmur secara ekonomi, lalu apakah bisa dikatakan bahwa mereka diriḍōi oleh Allōh ﷻ? Atau mau bilang itu adalah istidrōj?
Di dalam theologi Islām yang lurus, muṣībah bagi kaum Muslimīn itu bisa berarti 3 hal:
- Ujian dan peninggi derajat.
- Teguran (agar menjadi muḥāsabah bagi orang-orang yang lalai).
- Kaffāroh (penggugur dosa).
Adapun statusnya yang mana hanyalah Allōh ﷻ yang Maha Tahu, sedangkan manusia tidak tahu.
Manusia yang sok tahu melabeli “ini pasti àżāb ” adalah oknum lancang yang melampaui batas.
Ketiga, seorang Muslim yang baik itu menjadikan bencana sebagai muḥāsabah agar mawas diri, bukan malah untuk menghakimi menunjuk hidung orang lain.
Ketika bencana menimpa orang lain, maka tugas seorang Muslim itu adalah membantu dan mendoakan korban bencana. Ketika kita sibuk menganalisis “dosa orang lain” sebagai penyebab datangnya bencana, maka kita sedang mempraktekkan “Teologi Iblīs” yang merasa diri suci dan lebih baik dari orang lain, kemudian memandang rendah orang lain.
Demikian, semoga bermanfaat.
(fb)







Komentar