Skenario ini tentu terasa liar. Seorang mantan presiden yang pernah memimpin negara selama bertahun-tahun tiba-tiba terbukti menggunakan ijazah palsu. Namun dalam diskusi ketatanegaraan, skenario teoretis semacam ini justru penting untuk melihat bagaimana sebuah republik menguji kekuatan institusinya. Bukan pada konten ijazahnya, melainkan pada integritas sistem yang membiarkannya lolos.
Berikut analisis investigatif tentang apa saja yang bisa berguncang jika skandal semacam itu terjadi.
1. Konsekuensi Hukum terhadap Sang Mantan Presiden
Dalam skenario teoretis ini negara akan memasuki krisis kepercayaan paling serius sejak reformasi. Mantan presiden itu, yang dulunya dielu-elukan dan dikawal protokoler, kini berdiri sebagai tersangka pelanggaran pidana pemalsuan dokumen.
KUHP Pasal 263 mengancam enam tahun penjara bagi siapa pun yang memalsukan surat. Jika surat tersebut digunakan untuk mendapatkan jabatan publik, maka unsur penipuan publik dan misrepresentation semakin memperberat kasus. Maknanya jelas: legitimasi jabatan yang pernah ia sandang dianggap cacat sejak awal.
Penyidik akan menelusuri rantai panjang peristiwa. Siapa yang menerbitkan dokumen. Siapa yang tahu tetapi memilih diam. Apakah institusi pencalonan presiden saat itu lalai melakukan verifikasi. Setiap jejak administratif masa lalu akan berubah menjadi potongan teka-teki pidana.
Selain ancaman penjara, sang mantan presiden bisa kehilangan hak istimewa seperti pensiun pejabat negara, pengawalan, dan penghargaan kenegaraan. Bahkan catatan sejarah mengenai periodenya mungkin direvisi dengan catatan kelam.
2. Dampak terhadap Produk Hukum dan Kebijakan Era Kepemimpinannya
Presiden menandatangani ratusan Perpres, puluhan PP, dan tak terhitung Keppres. Dalam skenario hipotetis ini, seluruh produk hukum tersebut menjadi bahan evaluasi.
Di meja ahli hukum tata negara muncul dua kubu.
Pertama, kubu yang berpendapat bahwa seluruh produk tetap sah demi stabilitas negara karena presiden menjabat secara de facto.
Kedua, kubu yang lebih keras menyatakan posisi presiden batal sejak awal sehingga semua tindakannya cacat legitimasi.
Implikasinya luas.
Perpres strategis seperti IKN, arsitektur kementerian, program nasional, kebijakan fiskal, dan proyek investasi besar dapat dibuka ulang oleh DPR.
PP dan Perpres yang mempengaruhi lingkungan, tenaga kerja, dan investasi bisa digugat kelompok masyarakat sipil.
Keppres mengenai pengangkatan pejabat dapat menjadi fokus audit politik.
Produk hukum mungkin tidak dibatalkan seluruhnya karena dapat memicu kekacauan negara. Namun label cacat legitimasi akan melekat secara historis dan politis.
3. Pejabat yang Dilantik: Rangkaian Legitimasi yang Ikut Retak
Setiap presiden mengangkat barisan pejabat penting seperti menteri, wakil menteri, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan duta besar. Jika jabatan presiden yang mengangkat mereka dianggap tidak sah maka legitimasi pejabat-pejabat itu otomatis dipertanyakan.
Ada tiga potensi dampak besar.
Pertama, evaluasi ulang pengangkatan oleh DPR yang menilai jabatan tersebut lahir dari proses yang cacat.
Kedua, konflik antar lembaga ketika pejabat menolak mundur sementara kelompok politik menuntut pertanggungjawaban.
Ketiga, stigma historis bahwa karier mereka dibangun dari otoritas yang tidak memenuhi syarat hukum.
Dalam politik stigma adalah hukuman terpanjang.
Dalam teori politik skandal ijazah palsu bukan sekadar soal selembar kertas. Ia adalah tes bagi seluruh kekuatan negara. Tidak hanya mempertanyakan moralitas seorang tokoh tetapi juga ketahanan institusi yang semestinya menjadi penjaga demokrasi.
Jika skenario ini benar-benar terjadi Indonesia bukan hanya menghadapi pemalsuan identitas tetapi juga kegagalan negara dalam mendeteksi kebohongan paling dasar. Di dunia nyata hal seperti ini belum pernah terjadi. Namun membayangkan konsekuensinya memberi pesan penting.
Demokrasi tidak runtuh secara tiba-tiba melainkan oleh kelengahan kecil yang dibiarkan tumbuh menjadi kerusakan besar.







Komentar