Apakah situasi benar-benar membaik?

Apakah situasi benar-benar membaik?

Anda tentu mendapatkan informasi juga. Sekali pun dari beberapa sumber saya mendengar bahwa semua berita tentang bencana ini berusaha dihilangkan dari berbagai platform media sosial. Makin hari, makin tampak bahwa pemerintahan ini sama sekali tidak bisa mengkoordinasikan tim-nya.

Para anggota kabinetnya saling berlomba mengeksploitasi penderitaan bencana ini untuk kepentingan pencitraannya. Juaranya saya kira si Zulhas, yang dengan gagah memanggul beras dan menyekop lumpur. Itu mencipta foto-op yang bagus dari sisi fotografi dan videografi. Namun sangat menjijikkan karena demikian banyak orang masih membutuhkan bantuan.

Bahkan saya memperhatikan para pejabat yang “turun” ke daerah bencana. Semua necis. Muka-muka penghuni surga yang turun ke neraka bencana. Hanya untuk membikin kontras betapa malangnya hidup orang-orang yang penderitaannya mereka sendiri yang bikin.

Bukankah mereka penikmat uang sawit, tambang, dan pembabatan hutan itu? Anehnya lagi, setetes bantuan yang mereka berikan itu seolah segalanya. Padahal, bahkan uang bantuan itu pun sesungguhnya bukan uang mereka! Tetapi uang dari seluruh rakyat — termasuk rakyat yang terkena bencana itu!

Jelas, dalam soal bencana besar ini, pemerintahan ini telah gagal. Bahkan menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional pun hingga saat ini pemerintah enggan. Menteri Sosial mengatakan bahwa telah mengeluarkan uang 25 milyar untuk penanggulangan bencana ini. Seakan itu uang pribadinya. Juga 25 milyar itu tidak ada artinya untuk bencana sebesar ini.

Influencer Fery Irwandi menggalang dukungan warga untuk korban bencana ini. Dalam waktu yang singkat 10 milyar terkumpul dan dia mampu menyewa pesawat untuk membawa bantuan.

Pemerintah? Mereka sibuk berupacara. Orang-orang yang seharusnya di lapangan sibuk melayani pejabat-pejabat Jakarta yang datang. Rakyat yang lelah dikumpulkan untuk menyambut pejabat. Dan, semakin keras mereka menangis, semakin bagus untuk TV dan media-media buzzer.

Dalam hal ini, saya lagi-lagi ingat dengan pidato Ronald Reagan, presiden AS yang mantan aktor Hollywood itu. Dia bilang, “Pemerintah bukan solusi atas masalah, tapi justru pemerintah itu adalah sumber masalahnya.” Orang memilih pemerintah dengan harapan mereka membuat hidup lebih baik. Namun yang kita saksikan, mereka justru lebih sering menyusahkan.

Lagi-lagi, warga bantu warga yang bergerak. Di Republik Rakyat Bantul, sebuah warung makan memasang pengumuman untuk mahasiswa dari Aceh, Sumut, Sumbar, yang terkena bencana. Hanya dengan menunjukkan KTP dari wilayah itu, para mahasiswa itu boleh makan gratis. Itu satu wujud solidaritas yang luar biasa.

Saya ingat ketika pandemi, hal yang sama juga terjadi. Ketika negara keluar dengan militer dan polisi memaksa rakyat untuk ini dan itu, muncul gerakan “rakyat bantu rakyat.” Mereka membantu isolasi warga yang kena Covid. Mereka menggantung makanan di tempat yang bisa dijangkau mereka yang diisolasi. Mereka mengurus semua kebutuhannya.

Negara dan pejabat? Saat ini kita baru tahu bahwa ratusan trilyun (mungkin lebih) dana Covid yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ini kemudian menjadi dana-dana poltik para politisi itu untuk melanggengkan jabatannya.

Hal seperti ini berulang terus. Kita tahu terlambat. Dan, mohon maaf dari pengalaman masa lalu, lembaga-lembaga yang mengurus bencana pun tidak imun dari korupsi. Dan, kita tahu siapa yang memimpin lembaga seperti Basarnas dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu.

Dan orang seperti Nanik Deyang memuji-muji secara cepat militer terjun ke daerah bencana dan berharap mahasiswa-mahasiswa yang suka demo akan ikut terjun ke sana juga.

Si Nanik, yang sedang mengalami mobilitas vertikal lebih cepat dari roket karena tiba-tiba mengurus dana 1.2 trilyun per hari (MBG), tentu akan mengatakan apa saja untuk membela rejim junjungannya. Sama seperti dulu dia mengumumkan Ratna Sarumpaet digebukin karena sikap politiknya, hanya kemudian publik tahu bahwa dia sedang oplas. Jadi abaikan Nanik yang susah dibedakan antara sedang nangis atau konstipasi (ngeden) ini.

Negara itu ada untuk memberi pertolongan pada orang-orang yang sama sekali tidak berdaya. Bahkan kaum anarkis yang paling anti negara pun saya kira setuju itu. Jika itu pun tidak mampu dilakukan, salahkah kalau kita mengatakan ia gagal dan sistem ini sedang membusuk?

(Made Supriatma)

Komentar