PANGGULAN BEBAN: ANTARA KETULUSAN KHALIFAH UMAR BIN KHATAB DENGAN PENCITRAAN ALA MENKO ZULKIFLI HASAN
Oleh: Ahmad Khozinudin, SH
Sungguh, tidak akan terhimpun dua keadaan dalam dunia dan akhirat. Siapa saja yang memanggul amanah dengan penuh tanggungjawab didunia, maka di akherat dia akan dibebaskan dari segala dakwaan. Siapa yang menelantarkan amanah di dunia, niscaya diakherat dia akan terbebani dengan banyak dakwaan.
Dan amanah yang paling berat adalah amanah kekuasaan. Saking beratnya, Khalifah Umar Bin Khatab mencukupkan dirinya yang memanggul amanah, dan tidak mengizinkan keluarga umar yang lain untuk memanggul amanah kekuasaan sebagai seorang Khalifah.
Karena kesadaran akan tanggungjawab dihadapan Allah SWT, Khalifah Umar RA menolak Aslam untuk memanggul gandum untuk dirinya dengan pernyataan yang tegas :
“Aslam, apakah kelak engkau akan memanggul beban dosaku di akhirat? Sungguh, amanah Kekhilafahan ini ada pada pundakku. Baiat Khalifah atas seluruh urusan umat ini ada padaku, maka biarkan aku dengan pundakku yang memanggul gandum ini. Sebagai tanggungjawabku atas urusan rakyatku, untuk mengurusi urusan mereka dihadapan Allah SWT”
Kira-kira, redaksi itulah yang disampaikan Umar Bin Khatab, seorang Khalifah, seorang Amirul Mukminin, saat hendak menyelesaikan urusan kelaparan yang melanda rakyatnya. Urusan yang tak diketahuinya dari laporan bawahannya, melainkan baru diketahui setelah manusia mulia ini melakukan inspeksi, keliling kota Madinah untuk mengetahui kondisi rakyatnya.
Sementara hari ini?
Memanggul bahan makanan bukan dalam rangka untuk menunaikan amanah. Akan tetapi hanya untuk tujuan pencitraan, untuk mendapatkan pamrih pujian dari manusia, atau sekedar berburu elektabilitas untuk jabatan dan kekuasaan.
Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, meninjau lokasi terdampak parah bencana banjir bandang di Koto Panjang Ikur Koto, Koto Tangah, Padang, Minggu (1/12/2025). Dalam tinjauan tersebut, Menko dari PAN ini dideskepsikan tampak melangkah di atas tanah becek yang dipenuhi lumpur sisa amukan banjir bandang, mengenakan kemeja putih yang kontras dengan sepatu bot oranye terang, dan memanggul beras bantuan.
Aksi ini disorot kamera dan langsung dikabarkan keseluruh jagat sosial media. Bukan dalam keadaan malam pekat, seperti yang terjadi pada peristiwa Khalifah Umar dalam kisah wanita penanak batu.
Apa yang dilakukan Zulkifili ini hanya prncitraan. Tak menyelesaikan akar masalah. Bahkan, dalam sejumlah kritik Netizen, Zul saat menjadi Menhut banyak menerbitkan izin HPH (hak pengelolaan hutan).
Belum lama ini, Sejumlah kayu besar tanpa kulit yang ikut terbawa arus banjir bandang di Sumatera menyita perhatian publik hingga viral di media sosial. Gelondongan kayu itu viral karena jumlahnya cukup banyak dan kayu-kayu terpotong rapi bahkan tak sedikit yang sudah dalam kondisi tanpa kulit.
Bupati Tapsel Gus Irawan menuntut adanya kajian komprehensif atas praktik penebangan hutan yang membawa bencana banjir bandang di Tapsel. Karena diketahui sebelumnya, pada bulan Oktober 2025, Kemenhut menerbitkan izin penebangan hutan.
Padahal, dalam Islam hutan terkategori milik umum (Al Milkiyatul Amanah). Negara, haram menyerahkan konsesi pengelolaan hutan kepada swasta, baik korporasi asing maupun dalam Negeri.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdulah bin Said, dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, dari al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumpu (hutan), dan api (sumber energi); dan harganya adalah haram.”
Hutan, harus dalam pengawasan dan tanggungjawab Negara. Pengelolaan hutan, harus dibangun diatas illat ‘kemaslahatan umum rakyat’, bukan untuk menambah kaya raya oligarki hutan.
Di Indonesia, pengelolaan hutan ini telah menyalahi syariah Islam. Karena swasta diberikan kebebasan untuk menggasak hutan dan merugikan rakyat.
Oligarki hutan di Indonesia telah menjarah hutan yang sebenarnya milik bersama rakyat, menjadi milik mereka pribadi. Manfaat hutan, tidak lagi untuk rakyat, melainkan untuk Korporasi.
Akibatnya, Korporasi hanya peduli pada keuntungan bisnis dalam mengelola hutan. Mereka, tak peduli pada dampak sosial dan lingkungan yang merugikan rakyat.
Perusahan yang menguasai hutan Indonesia, seperti: Industrial Forest Plantation (PT IFP), PT Mayawana Persada, Grup Nusantara Fiber, PT Rimbun Sawit Papua dan PT Varita Majutama memiliki konsesi di wilayah Papua dan sekitarnya, dan sejumlah Konglomerat besar seperti Grup Triputra, Grup Integra, dan Grup Harita juga terlibat dalam konsesi hutan.
Mereka inilah, yang semestinya diceramahi oleh Presiden Prabowo Subianto. Bukan guru dan murid yang tidak punya dosa apapun atas kasus banjir bandang akibat penggundulan hutan.
Masalahnya bukan pada silabus pendidikan soal lingkungan dan hutan. Akan tetapi akibat keserakahan oligarki hutan yang merampok kekayaan negeri.
Sementara pejabatnya hanya sibuk memoles citra seperti Zulkifli Hasan. Atau sibuk menyalahkan Guru dan Murid, seperti apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Sepanjang negeri ini tidak diatur dengan Islam, maka niscaya yang ada hanya kerusakan demi kerusakan. Karena itu, segeralah kembali kepada Islam, dengan menerapkan hukum Allah SWT.
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”_
(Ar Rum: 41).







Komentar