Anak gadis itu baru berusia hampir 18 tahun. Rumor tentangnya sudah ke mana-mana: ia menjual diri, merokok, mabuk

✍🏻Ernydar Erham (Psikolog)

Anak gadis itu baru berusia hampir 18 tahun. Rumor tentangnya sudah ke mana-mana: ia menjual diri, merokok, mabuk, dan mengajak teman-temannya untuk ikut melakukan hal serupa.

Sekolah tempat dia menuntut ilmu hampir menyerah dan tengah mempertimbangkan untuk mengeluarkannya.

Seseorang yang peduli dengannya membawanya menemuiku.

Saat pertama kali kami bertemu, wajahnya dingin, tatapannya tajam, seolah bersiap untuk diserang. Aku hanya tersenyum dan bertanya pelan,

“Kamu merokok?”

“Iya.” jawabnya singkat.

Aku lanjut,

“Kamu lebih nyaman ngobrol sama ibu sambil merokok atau tanpa merokok?”

Dia terdiam. Mungkin kaget,
“Ibu mau apa?” tanyanya penuh curiga.

“Ibu mau ngobrol,” jawabku lembut.

“Kenapa ibu nawarin saya ngerokok?”

“Karena kalau menurut kamu merokok itu lebih baik, silakan lakukan,” kataku pelan, sambil menepuk punggungnya.

Dia menatapku lama, lalu menjawab lirih,

“Enggak, saya lagi nggak mau ngerokok.”

“Alhamdulillah,” kataku tersenyum. “Ibu juga asma, jadi sebenarnya ngeri kalau ada asap rokok.”

“Kalau gitu kenapa ibu nawarin saya ngerokok?”

Aku tersenyum,

“Ibu cuma mau tahu, kamu masih bisa memilih yang baik buat kamu apa nggak. Ternyata bisa. Berarti ibu menang taruhan sama hati ibu sendiri.”

Tatapannya mulai melunak. “Ibu yakin kamu anak baik,” kataku. “Kamu cuma punya alasan yang belum sempat kamu ceritakan.”

Lalu cerita itu mengalir. Tentang pelecehan seksual yang ia alami saat SD oleh kakak tirinya. Tentang rasa jijik dan bersalah yang menempel kuat di pikirannya. Tentang luka yang membuatnya menekan-nekan kuku hingga berdarah, bahkan melukai dirinya sendiri, karena hanya dengan rasa sakit fisik, ia bisa mengalihkan sakit batinnya.

Dia berkata,
“Saya ngerokok karena teman-teman yang ngerokok itu santai dan mau dengerin. Saya minum (mabok) karena kalau muntah, saya merasa lebih ringan. Saya cuma pengen tenang, Bu.”

Ia tak berani cerita pada ibunya yang bekerja keras sendiri, dan terlalu lelah untuk menambah beban. Ia membenci dunia karena dunia lebih dulu menghakiminya. Dan hubungan bebas yang dilakukannya bukan karena ingin, tapi karena tubuhnya pernah dijadikan alat, dan kini ia tak tahu lagi bagaimana harus mencintai dirinya.

Aku memeluknya. Ia menangis sampai pingsan.
Aku hanya bisa berdoa dalam hati, semoga pelukan itu cukup menegaskan bahwa ia tidak kotor, tidak rusak, hanya terluka.

Setelah sadar, kami lanjutkan ke sesi terapi. Ia mulai berdamai dengan pikirannya. Beberapa bulan kemudian, kami bertemu lagi, penampilannya berbeda, matanya lebih hidup.
Begitu melihatku, ia langsung berlari memelukku erat.

“Ibu… peluk akuuu…”

Kadang, kenakalan remaja dan kerusakan mental orang dewasa bukan karena mereka tidak baik,
tetapi karena kita yang gagal bersikap baik kepada mereka.

Kita sering menilai dengan kacamata benar-salah,
tapi lupa, setiap perilaku punya alasan, setiap luka punya cerita. Kita mudah menghakimi layaknya manusia suci, padahal seharusnya kita cukup menjadi manusia yang mau mendengar dan memahami.

Kadang, yang dibutuhkan seseorang bukan ceramah panjang atau vonis benar salah, tapi pelukan dan telinga yang mau mendengar tanpa menghakimi.

Kita tidak selalu bisa memperbaiki masa lalunya, tapi kita bisa jadi manusia yang tidak menambah luka orang lain.

Sebab dunia tidak kekurangan orang pintar, yang dibutuhkan sekarang adalah lebih banyak orang yang mau memahami dengan hati. ❤️

(fb)

Komentar