Ahli Gizi MEMANG Tidak Diperlukan di MBG

1. Sejak awal, konsep dan design dari MBG itu memang hanyalah: PROYEK.

2. Maka, dengan logika proyek, uang 300 triliun fokus DIBAGI-BAGIKAN habis.

3. Ditunjuklah dapur-dapur (SPPG istilah kerennya). Siapapun mau daftar bisa. Dan otomatis, yang duluan daftar adalah: KELUARGA-KELUARGA POLITISI. Terutama di daerah. Sebagian besar dapur adalah milik keluarga dan kerabat DPRD, Walikota/Bupati, Gubernur. Juga tidak ketinggalan keluarga-keluarga polisi/tentara, dkk (lewat perkumpulan-perkumpulan mereka).

4. Setiap dapur, katakanlah dapat jatah 3.000 porsi per hari. Maka, karena ini adalah proyek alias bisnis, fokus pemilik dapur simpel NYARI UNTUNG. Hari ini untung mereka paling Rp 2000 per porsi, jadi dapatnya 6 juta per hari. Sebulan dapat 180 juta. Setahun, 2 MILIARAN.

5. Cukup? Seharusnya sih cukup. TAPIII Itu tuh kuraaang banget bagi keluarga-keluarga ini, maka jika mereka bisa mengurangi menu, gizi, apapun itu diakalin, untung bisa dobel deh. Bisa naik Rp 4000 per porsi. Wah menarik kan.

6. Dus, buat apa ada ahli gizi? Wah, kalau ada ahli gizi di setiap dapur, itu tuh repot. Belum lagi jika ahli gizinya idealis tidak bisa diajak main mata sama ketua yayasan, atau pemilik dapur? Ahli gizi nanti cerewet bilang makanannya tidak memenuhi syarat. Sementara pemilik dapur kan mau untung. Biar punya 100-200 dapur, bergelimang uang MBG deh.

Alangkah susah jelasin ke rakyat Indonesia yang percaya banget misi mulia program ini.

Pada akhirnya, 300 triliun per tahun, kalikan 10 tahun (asumsi Prabowo 10 tahun), 3.000 triliun habis begitu saja.

Sama kayak 80 tahun Indonesia merdeka, habis begitu saja waktu.

Sementara Negara-Negara tetangga lebih maju dibanding kita.

Berikan mandat ke dapur sekolah.

Yang ngurus adalah orang tua murid di setiap sekolah.

Beres toh?

Mereka masak buat anak-anak sendiri, masa’ mereka mau curang ke anak-anak sendiri, ngasih makan seadanya?

Emak-emaknya biar yang masak. Repot? Memang.

Tapi selalu begitu jika ingin cita-cita mulia tercapai.

Bisa dikorup? Bisa saja. Tapi yang menikmati bukan keluarga politisi, melainkan emak-emaknya sendiri di kampung-kampung, di gang-gang 🙂

(TERE LIYE)

Komentar