AHLI BID’AH SEBENARNYA

AHLI BID’AH SEBENARNYA

Oleh : KH. Ahmad Syahrin Thoriq

Bid’ah yang sesat di masa salaf dan beberapa generasi ulama setelahnya itu selalu diarahkan kepada pemikiran kelompok menyimpang dalam Islam, bukan dituduhkan kepada amaliah ibadah tertentu yang sifatnya masih khilafiyah. Itulah mengapa ketika menyebut ahli bid’ah, contoh yang akan disebutkan adalah bid’ah Khawarij, Syiah, Inkar sunnah dan lainnya.

Bid’ah pertama dan terbesar dalam Islam adalah kemunculan kelompok Khawarij dengan paham takfir mereka kepada sesama muslim hanya karena seseorang terjatuh ke dalam dosa besar.

Al imam Abu Asbagh Al Maliki rahimahullah berkata :

أن أول ‌بدعة ‌حدثت ‌في ‌الإسلام ‌بدعة ‌الخوارج

“Sesungguhnya bid‘ah pertama yang muncul dalam Islam adalah bid‘ah Khawarij.”[1]

Khawarij itu jika bicara amaliyah luar biasa hebatnya, bahkan dalam bahasa hadits dikatakan shalat, puasa, dzikir dan ibadah ragam lainnya yang umumnya dikerjakan kaum muslimin tidak ada apa-apanya dibanding ibadah mereka.

Satu-satunya bid’ah mereka adalah pada pemikiran mereka yang rusak. Yang merasa paling suci sehingga memandang kelompok di luar mereka sebagai pihak paling buruk dan celaka.

Sehingga bila kita bermudah-mudah dalam menaikkan level masalah yang sebenarnya masih ranah khilafiyah menjadi seperti perkara pokok, atau yang tadinya makruh menjadi haram, dari haram menjadi murtad. Bisa jadi ini adalah salah satu jenis bid’ah warisan Khawarij.

Khawarij juga dengan pemahaman ekstrimnya tersebut menjadi pihak yang paling terdepan dalam merusak persatuan dan ukhwah di tengah-tengah umat. Itulah mengapa sebagian ulama kita mengingatkan dengan nasehat :

السنة تجمع والبدعة تفرق

“Sunnah itu menyatukan, bid’ah itu memecah belah.”[2]

Yang mana anehnya nasehat di atas sering dialamatkan dengan cara yang keliru oleh sebagian pihak. Ia dijadikan sebagai amunisi untuk menembak pihak yang lain di antara sesama muslim. Yang tepat ini harus menjadi cermin bagi kita semua untuk bisa saling introspeksi diri.

Padahal jika mengaku telah di atas sunnah namun menjadi pihak yang paling mudah terpecah dan juga gemar memecah belah, bukankah kita patut mencurigai sunnah siapa yang sebenarnya mereka ikuti ?

Komunitas yang secara jumlah masih tak seberapa, terkadang semakin dikerdilkan dengan sikap mudah mentahdzir dan mengkotak-kotakan diri sebagai yang paling layak disebut sebagai pihak yang kokoh dalam meniti jalan salaful ummah.

Apakah mungkin persatuan bisa dibina di atas sikap keras, bengis dan tidak mau saling bersabar dalam menyikapi perbedaan yang sebenarnya masih sangat bisa didiskusikan ?

Dan uniknya, pihak yang sering dituding sebagai ahli bid’ah, justru nampak menjadi pihak yang lebih mampu untuk bersatu, lebih bisa berlapang dada dalam perbedaan, dan bahkan bersinergi dengan saudara lainnya meski berbeda organisasi dan afiliasi.

Lalu mereka ini terus saja menampilkan cara beragama yang garang dan jauh dari kata hikmah. Jangankan sampai kepada yang berbeda madzhab atau kelompok, dengan yang masih disebut satu manhaj saja, sikap permusuhan begitu kuat terasa.

Lalu pihak yang menyeru kepada persatuan umat, mereka ejek dan bahkan mereka rendahkan dengan julukan dan sebutan yang buruk : persatuan kebun binatang. Begitu rendahkah nilai orang lain di mata kita hanya karena mereka tak sepengajian dengan kita ?

Maka jika sudah demikian, tidakkah justru yang seharusnya dikhawatirkan, jangan-jangan inilah yang sebenarnya menjadi biangnya bid’ah di tubuh umat ini. Lupakah kita akan sebuah nasehat dari al imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang begitu indah :

إخراج الناس من السنة شديد

“Mengeluarkan seseorang dari sunnah itu perkara berat.”[3]

Jika mengeluarkan orang perorang dari jama’ah Ahlusunnah wal Jama’ah saja dianggap berat, lalu bagaimana mungkin ada pihak yang begitu ringan menuduh satu kelompok, madzhab dan organisasi umat lainnya sebagai ahli bid’ah ? Jangan-jangan inilah yang disebut dengan istilah ahli bid’ah teriak bid’ah !

Simak lengkapnya di : https://astofficial.id/contents/353/ahli-bidah-teriak-bidah


[1] Diwan al Ahkam al Kubra hal. 729
[2] Dzikrul Jama’i hal. 53
[3] Jami’ li Ulum al Imam Ahmad (4/320)

Komentar