Saya Beli Rumah 800 Juta, Tapi Negara 'Merampok' Saya 57 Juta

[PORTAL-ISLAM.ID]  Saya baru saja beli rumah seharga sederhana, nggak mewah. Tapi cukup buat keluarga kecil. Tapi tahu nggak? Yang ikut senang bukan cuma saya dan keluarga. Negara juga ikut berpesta.

Karena ternyata…
Ada “biaya syukuran” wajib buat negara, namanya pajak.

Setiap kita jual beli rumah pasti kena namanya PPH, yang di bebankan ke penjual dan BPHTB yang dibayar oleh pembeli. 
Yuk kita hitung:

1. Pajak Penghasilan (PPh) – Dibayar Penjual

2,5% x 800 juta = Rp20.000.000

2. BPHTB – Dibayar Pembeli

5% x (800 juta – 60 juta) =
5% x 740 juta = Rp37.000.000

(60 juta itu NPOPTKP, batas bebas pajak yang ditetapkan daerah)
Total: Rp57.000.000

Bayangin:
Rumah saya 800 juta, tapi negara dapet 57 juta.
Padahal negara nggak bantu cari rumah, nggak bantu renovasi, apalagi nyicilin KPR.

Ini belum biaya lain lain seperti balik nama.

Tapi ya begitulah…
Di negeri ini:
Beli rumah: pajak
Beli makan: pajak 
Isi pulsa: pajak
Kirim barang: pajak
Make motor masih pajak. 
Mau mati? Bahkan warisan pun kena pajak.

Setragis-tragisnya VOC, Belanda jual beli rumah  antar warga lokal itu tidak ada. Kita ? Setiap nafas ada tagihannya

Kadang saya mikir:
Negara ini negara pelayanan, atau negara pemalak?

Terus saya baca-baca sejarah…
Ternyata dalam sistem Islam dulu, nggak ada pajak jual beli kayak gini.

Negara Islam nggak hidup dari memalak rakyat.
Tapi dari zakat orang kaya, hasil bumi (kharaj), rampasan perang (fa’i), jizyah, dan kekayaan milik umum.

Bukan dari nyedot uang rakyat tiap hari.

Emang bisa ya negara hidup tanpa pajak?

Ya bisa. Dulu pernah terjadi.
Di masa Kekhilafahan Islam, sistemnya berjalan ratusan tahun.
Rakyat aman. Negara cukup. Pajak? Nggak jadi momok.

Kadang yang berat bukan harga rumahnya…
Tapi “pajak-pajak” yang nempel kayak lintah.

Dan lama-lama kita sadar:
Yang perlu dibenahi bukan cuma sistem bayar… tapi sistem bernegara.

(Ngopidiyyah)

Baca juga :