Catatan Fahmi Hasan Nugroho:
Ini cuma satu dari banyak alat ukur kemajuan suatu negara, kali ini adalah GDP per capita, sederhananya itu adalah rata-rata pendapatan penduduk suatu negara dalam satu tahun.
Data ini menunjukkan apa? data ini bisa digunakan sebagai alat ukur bagaimana negara bisa mensejahterakan rakyatnya.
Data di atas menunjukkan bahwa GDP per capita Malaysia selalu lebih tinggi dari China dan baru setelah tahun 2020 China berhasil menyusul Malaysia.
Dari sisi nilai ekonomi China memang jauh lebih besar ketimbang Malaysia, anda bisa melihatnya di data GDP yang ditampilkan, namun dari sisi peningkatan ekonomi individu Malaysia diunggulkan dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit ketimbang China.
Istilahnya, karena Malaysia penduduknya sedikit maka dengan GDP di angka itu sudah cukup untuk mensejahterakan rakyatnya, beda dengan China yang harus meningkatkan GDP sampai di angka itu agar rakyatnya bisa sejahtera melebihi kesejahteraan rakyat Malaysia.
Indonesia vs Malaysia
Nah, sekarang Indonesia dan Malaysia sama-sama berdekatan dengan iklim yang hampir mirip, penduduknya juga mayoritas muslim, debat Asy'ari Salafi juga ada, isu rasial juga ada, tapi ternyata GDP per capita mereka selalu lebih tinggi ketimbang Indonesia, dari dulu hingga sekarang.
GDP Malaysia = $11,379 (peringkat 57 dunia)
GDP Indonesia = $4,876 (peringkat 103 dunia)
Bagaimana bisa dua negara yang memiliki banyak kemiripan tapi Malaysia secara umum selalu lebih sejahtera ketimbang rakyat Indonesia? Lah kok bisa?
Faktor utama perbedaan itu ada pada pemerintah yang mengatur negaranya, bagaimana kebijakan-kebijakan yang dihasilkan mampu untuk menggerakkan ekonomi, meningkatkan kualitas pendidikan, menghasilkan SDM yang berkualitas untuk terus mengembangkan negara.
Usaha bottom up (yang dilakukan rakyat) sejak lama sudah dilakukan, adanya organisasi masyarakat serta lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal sudah lama berusaha untuk meningkatkan kualitas SDM, tapi kenapa belum cukup membuat kita maju?
Jawabannya karena sistem politik dan pemerintahan yang mengurusinya juga bobrok.
Kebijakan yang lebih pro kepada pemodal, para dewan perwakilan hanya mewakili suara dan keinginan partai, hukum yang bisa dibeli oleh uang, tajam ke bawah dan lunak ke atas, pemberantasan korupsi hanya menjadi alat untuk menjegal lawan politik.
(*)