Orang Pinter vs Youtuber

๐Ž๐ซ๐š๐ง๐  ๐๐ข๐ง๐ญ๐ž๐ซ ๐ฏ๐ฌ ๐˜๐จ๐ฎ๐ญ๐ฎ๐›๐ž๐ซ

Oleh: Habib Ali Baqir al-Saqqaf
Saya mengamati di Nusantara ini, orang yang banyak follower, viewer, dan subscriber lebih dihormati daripada ulama. Hal ini jelas terlihat ketika seseorang yang punya banyak follower disambut dengan meriah, bahkan tangannya dicium untuk mencari โ€œberkahโ€, ketimbang seorang ulama yang sudah belajar bertahun-tahun di pesantren, bahkan sampai ke luar negeri.

Karena itu, jangan heran kalau sekarang menjamur konten kreator berbasis agamaโ€”mulai dari meliput kehidupan di Arab sampai tempat-tempat yang dianggap barokah. Maka jangan heran juga kalau banyak santri sekarang lebih bercita-cita jadi konten kreator daripada jadi ulama yang mengajar kitab selevel Fathul Wahab, Jamโ€™ul Jawamiโ€™, apalagi Syarah Syamsiah dan Syarah Aqidah Nasafiyah.

Bahkan sekarang, beberapa orang yang dulu dikenal berprestasi malah magang jadi konten kreator. Mungkin karena jadi konten kreator agama lebih menjanjikan secara finansial daripada jadi ulama yang hidupnya biasanya pas-pasan. Soal pahala, itu cerita lain, karena di dunia ini kita butuh biaya, bukan pahala (kata abang saya Jakfar Sodik).

Fathul Whatโ€™s Up lebih diminati daripada Fathul Wahab, begitu pula Kifayatul Instagram lebih menarik daripada Kifayatul Akhyar, apalagi Nihayatul TikTok.

(*)
Baca juga :