Oleh: Ust Fahmi Salim, Founder Baitul Maqdis Institute
Pada tahun 2017, Benjamin Netanyahu menyampaikan pernyataan yang mengguncang: dalam sejarah, tidak ada negara Yahudi yang bertahan lebih dari 80 tahun. Sekilas, ini terdengar seperti catatan sejarah biasa. Namun bagi Israel, yang kini memasuki tahun ke-78, ini adalah peringatan dini—mungkin bahkan nubuat tentang masa depan negara Zionis itu sendiri.
Kekhawatiran terhadap kelangsungan Israel bukan hanya datang dari luar. Justru, sebagian suara paling kritis datang dari dalam. Ehud Barak, mantan Perdana Menteri Israel, menyebut "kutukan dekade kedelapan" sebagai pola historis yang berulang. Yuval Diskin, mantan kepala Shin Bet, memperingatkan krisis identitas nasional dan kegagalan demokrasi sebagai ancaman eksistensial.
Benny Gantz, Menteri Pertahanan, bahkan memperkirakan Israel kelak hanya akan bertahan di antara dua pemukiman, Gadera dan Hadera—suatu pengakuan implisit bahwa proyek Zionisme dalam bentuknya sekarang mungkin tak bertahan lama.
Momok Sebuah Ramalan
Syaikh Ahmad Yasin, pendiri Hamas, dalam wawancara tahun 1998 memprediksi bahwa Israel akan lenyap pada tahun 2027, berdasarkan pola Al-Qur’an tentang pergantian generasi tiap 40 tahun. Menurutnya, setelah 40 tahun pertama Nakbah dan 40 tahun kedua perlawanan dan intifadhah, 40 tahun ketiga akan menjadi masa kehancuran Israel (Zawal Israil). Kini, kita berada di tahun 2025. Waktu terus berjalan menuju titik yang ditandainya.
Gejolak dari Dalam
Faktor internal memperkuat argumen tentang kerentanan Israel. Negara ini tengah menghadapi krisis politik akut, terpolarisasi antara kelompok religius dan sekuler, Yahudi Ashkenazi dan Mizrahi, serta antara kelompok liberal dan ultranasionalis. Demonstrasi besar-besaran terhadap reformasi yudisial dan lemahnya legitimasi Netanyahu menjadi bukti bahwa kohesi sosial Israel tengah runtuh.
Korupsi merajalela di tubuh pemerintahan. Kepercayaan terhadap institusi menurun drastis. Militer Israel, dahulu simbol ketangguhan, kini dituding kehilangan semangat juang dan terlalu bergantung pada kekuatan udara, menghindari konfrontasi darat. Semua ini menandakan krisis keberlanjutan di jantung negara.
Tantangan Eksternal Meningkat
Di sisi lain, perlawanan Palestina, khususnya dari Gaza, berkembang secara signifikan. Operasi Badai Al-Aqsa menjadi titik balik, memperlihatkan bahwa Israel tidak lagi punya dominasi absolut atas medan tempur. Koordinasi antar faksi Palestina meningkat. Kekhawatiran Israel kini bukan hanya roket dari Gaza, tapi juga kemungkinan intifadhah baru dari warga Palestina di wilayah 1948.
Secara demografis, populasi Arab telah melampaui jumlah Yahudi antara Laut Tengah dan Sungai Yordan. Jika Israel memberi mereka hak politik penuh, identitas Yahudi negara itu hilang. Jika tidak, Israel bukan lagi demokrasi. Dilema ini disebut oleh Ronald Lauder, Presiden Kongres Yahudi Dunia, sebagai "perangkap eksistensial".
Masa Depan yang Tak Pasti
Israel bergantung pada dukungan luar negeri—terutama Amerika Serikat dan Eropa. Namun dukungan itu tak lagi solid. Kritik terhadap kebijakan brutal Israel terhadap Palestina makin vokal. Di tengah perubahan geopolitik global dan bangkitnya kutub multipolar, posisi Israel bisa saja semakin terisolasi.
Apakah ini akhir dari proyek Zionisme? Tidak ada yang tahu pasti. Tapi tanda-tandanya semakin nyata. Bagi sebagian orang, ini adalah kehancuran. Bagi sebagian lain, ini adalah awal dari keadilan.
Yang jelas, dunia sedang menyaksikan bagaimana sebuah negara, yang dibangun di atas penderitaan orang lain, sedang bergulat dengan takdir sejarahnya sendiri.
(*)